Saya heran dengan
sikap beberapa orang di luar sana, mereka yang semakin beragama tampaknya
justru semakin memupuk kebencian mendalam terhadap manusia lain. Di satu sisi,
mereka menyembah Tuhan, mengagungkan-Nya, berterima kasih atas semua
ciptaan-Nya, sementara di sisi lain mereka membenci sesama manusia ciptaan
Tuhan. Bukankah itu justru dua hal yang bertolak belakang?
Kamis, 22 November 2012
Selasa, 30 Oktober 2012
Menunda Pekerjaan
Apakah Anda termasuk orang yang senang menunda-nunda pekerjaan? Jika ya, mungkin lelucon dari Negeri Paman Sam berikut ini bisa menegur kebiasaan Anda itu.
Adalah seorang petani yang tinggal di sebuah lahan dan memiliki beberapa ekor sapi. Suatu hari, ia membawa sapi-sapinya keluar merumput ke padang. Di tengah jalan, ia melihat pagar kayu yang sudah rusak. Ia memang pernah berencana akan memperbaikinya, tapi selalu saja tidak sempat, hingga beberapa hari lalu badai membuat kerusakannya semakin parah.
"Jangan ditunda lagi," katanya. Kemudian ia pergi ke gudang untuk mengambil peralatannya.
Sesampainya di gudang, ia menemukan tempat itu berantakan sekali; perkakasnya tergeletak di mana-mana. Ia lalu merapikannya, menaruhnya ke tempatnya satu per satu. Kemudian ia teringat bahwa palunya tertinggal di dapur. Ia menuju ke dapur.
Di dapur, ia menemukan empat keranjang penuh sampah dan ia ingat kalau hari itu adalah hari mengangkut sampah. Bergegas, ia menyeret keranjang-keranjang sampah yang berat itu melalui jalan setapak depan rumahnya ke tepi jalan besar. Di tengah jalan, ia menemukan koran hari itu, tergeletak begitu saja, ditinggalkan oleh si tukang koran. Berita utamanya menarik perhatiannya.
"Tidak ada salahnya kalau aku menyisihkan waktuku lima menit untuk berita ini," katanya, lalu menuju ke beranda depan dan membaca koran; sementara sapi-sapinya sudah merumput entah ke mana.
Percayalah, menunda pekerjaan membuat segala sesuatunya menjadi lebih... buruk.
(Diceritakan ulang dari "I'll do it tomorrow: how to stop putting it off and get it done today" oleh Jerry & Kirsti Newcombe, 1999, chapter 6)
Adalah seorang petani yang tinggal di sebuah lahan dan memiliki beberapa ekor sapi. Suatu hari, ia membawa sapi-sapinya keluar merumput ke padang. Di tengah jalan, ia melihat pagar kayu yang sudah rusak. Ia memang pernah berencana akan memperbaikinya, tapi selalu saja tidak sempat, hingga beberapa hari lalu badai membuat kerusakannya semakin parah.
"Jangan ditunda lagi," katanya. Kemudian ia pergi ke gudang untuk mengambil peralatannya.
Sesampainya di gudang, ia menemukan tempat itu berantakan sekali; perkakasnya tergeletak di mana-mana. Ia lalu merapikannya, menaruhnya ke tempatnya satu per satu. Kemudian ia teringat bahwa palunya tertinggal di dapur. Ia menuju ke dapur.
Di dapur, ia menemukan empat keranjang penuh sampah dan ia ingat kalau hari itu adalah hari mengangkut sampah. Bergegas, ia menyeret keranjang-keranjang sampah yang berat itu melalui jalan setapak depan rumahnya ke tepi jalan besar. Di tengah jalan, ia menemukan koran hari itu, tergeletak begitu saja, ditinggalkan oleh si tukang koran. Berita utamanya menarik perhatiannya.
"Tidak ada salahnya kalau aku menyisihkan waktuku lima menit untuk berita ini," katanya, lalu menuju ke beranda depan dan membaca koran; sementara sapi-sapinya sudah merumput entah ke mana.
Percayalah, menunda pekerjaan membuat segala sesuatunya menjadi lebih... buruk.
(Diceritakan ulang dari "I'll do it tomorrow: how to stop putting it off and get it done today" oleh Jerry & Kirsti Newcombe, 1999, chapter 6)
Minggu, 28 Oktober 2012
Sudah 84 Tahun
28 Oktober 1928
Setiap pemuda serempak berkata
“Satu nusa, satu bangsa!”
17 tahun kemudian
Kurang 2 bulan
Teriakan itu diganti dengan teriakan lain
“MERDEKA!”
Lalu
Waktu berlalu…
84 tahun kemudian
Kurang 3 bulan
Yang semula mengaku satu
Dipecah belah demi kepentingan politik:
Agama, etnis
Isu SARA ditebar demi kemenangan pemilihan kepala daerah
84 tahun kemudian
Kurang 1 bulan
Ketika pemuda dulu meneriakkan kata “satu”
Pemuda sekarang pun meneriakkan kata “satu”
Satu dalam kelompok masing-masing
Satu kelompok lawan satu kelompok
Satu sekolah lawan satu sekolah
Nyawa melayang
“Satu” seperti itukah yang dicari 84 tahun silam?
84 tahun kemudian
Kurang 1 hari
Kala pemuda dulu mengangkat senjata melawan penjajahan
Pemuda kini pun mengangkat senjata
Lalu Densus 88 bertindak
Perlawanan seperti itukah yang dicari–
perlawanan yang membuat “satu” itu pecah?
Sudah 84 tahun
Masih perlukah kuceritakan padamu hal lain?
Oh, masih banyak, tentu saja!
Tidakkah kau lihat para pejabat berbaju tahanan itu?
Ketika teriakan “SATU” mereka abaikan demi kepentingan perut
sendiri
Sementara yang di luar jeruji pun masih banyak
yang ogah-ogahan mewujudkan kesatuan
Bagaimana dengan kelompok kepercayaan minoritas?
Tempat ibadah ditutup,
yang tidak sealiran diusir
Beberapa ber-satu menghancurkan rumah ibadah
Atau kuajak kau ke pelosok nun jauh di sana
Ketika melihatnya, kau akan menyimpulkan
bahwa “SATU” adalah satu kemakmuran
bagi masyarakat wilayah tertentu, tapi bukan bagi mereka
“Satu” seperti itukah yang kita maksudkan dahulu?
Satu agama? Satu suku? Satu ras? Satu kelompok kepentingan?
Namun
Teriakan 84 tahun silam itu masih terdengar walau sayup
Dengarkanlah,
“SATU NUSA, SATU BANGSA!”
***
Hari Peringatan Sumpah Pemuda tahun 2012
Kalau Kita Mengaku Satu
Kalau kita mengaku 'SATU'
Tidak ada lagi yang saling membenci
atas dasar perbedaan suku, ras, agama
Kalau kita mengaku 'SATU'
Ketika aku menyakitimu,
sama saja dengan menyakiti diriku sendiri, demikian pula sebaliknya
Kalau kita mengaku 'SATU'
Tidak ada yang mementingkan diri sendiri,
meraup kekayaan bangsa ini untuk kepentingan pribadi
Kalau kita mengaku 'SATU'
Kita semua bergerak untuk kemajuan bersama
Tidak ada yang tinggal diam berpangku tangan
Kalau saja kita memang benar-benar 'SATU'...
***
Palabuhanratu, Sukabumi
Hari Peringatan Sumpah Pemuda tahun 2012
(kepikiran di tengah jalan, sempat diposting ke Facebook, daripada lupa)
Tidak ada lagi yang saling membenci
atas dasar perbedaan suku, ras, agama
Kalau kita mengaku 'SATU'
Ketika aku menyakitimu,
sama saja dengan menyakiti diriku sendiri, demikian pula sebaliknya
Kalau kita mengaku 'SATU'
Tidak ada yang mementingkan diri sendiri,
meraup kekayaan bangsa ini untuk kepentingan pribadi
Kalau kita mengaku 'SATU'
Kita semua bergerak untuk kemajuan bersama
Tidak ada yang tinggal diam berpangku tangan
Kalau saja kita memang benar-benar 'SATU'...
***
Palabuhanratu, Sukabumi
Hari Peringatan Sumpah Pemuda tahun 2012
(kepikiran di tengah jalan, sempat diposting ke Facebook, daripada lupa)
Kamis, 25 Oktober 2012
A Conventional Man
Malam ini gue mengunjungi toko buku kecil langganan gue.
Tokonya memang kecil, koleksinya sedikit, tapi selalu menarik minat gue karena
koleksinya yang langka. Entah mengapa, sambil memilih buku, terlintas di
pikiran gue dengan tiba-tiba: semua ini, suatu saat kelak, bakal menjadi
sejarah.
Ya, dunia sekarang memang sedang beralih ke teknologi
digital, termasuk literatur. Orang-orang sudah beralih, memilih buku digital
ketimbang lembaran-lembaran buku biasa. Tapi berbeda dengan gue.
Bagi gue, sensasi membuka lembaran-lembaran buku itu tidak
tertandingi! Meraba sampulnya, merasakan teksturnya, merasakan jari-jemari
bergerak membolak-balik halaman, mencium uniknya aroma kertas buku baru dan
buku tua, menyaksikan warna lembaran-lembaran kertas menua menjadi cokelat
seiring waktu; sensasi-sensasi seperti ini yang nggak gue temukan di buku
digital.
Nggak hanya di dunia literatur, sebenarnya. Gue bahkan
konvensional dalam banyak hal! Di musik, misalnya. Memang, sudah ada yang
namanya piano digital. Tapi ketika gue memainkannya, rasanya ada yang kurang.
Gue nggak bisa merasakan sensasi hammer yang memukul senar. Berbeda kalo
gue main piano biasa, dimana ada semacam soul yang menyatu antara gue
dengan si piano, gue mengatur tekanan pada tuts, keras atau lembut, dan gue
bisa merasakan hammer piano pun bergerak halus atau lembut seiring
tekanan gue pada tuts.
Ketika gue memetik gitar akustik, warna suara senar gitar
yang khas langsung dikenal telinga gue. Tapi ketika gitarnya disambung ke
speaker, gue udah nggak menemukan warna suara yang sama lagi. Gue lebih
menikmati pertunjukan musik, entah konser atau recital, dimana suara yang
terdengar dihasilkan langsung oleh alat musiknya, ketimbang konser-konser
dengan sound system megah. Gue lebih senang menonton pertunjukan musik
langsung dibanding mendengar rekamannya saja.
Tapi bukan berarti gue menolak semua hal yang kontemporer.
Gue nggak gaptek lah, tapi gue menempatkan teknologi hanya pada saat dibutuhkan
aja. Gue udah mulai mengoleksi buku-buku digital, khususnya yang sudah amat
sangat langka, hingga tidak bisa ditemukan di toko buku manapun lagi. Gue juga
bermain piano digital kalau memang yang tersedia ya instrumen itu saja. Gue
juga nggak menolak sound system, pengeras suara, apalagi kalau
berhadapan dengan audiens banyak dan gedung besar.
Bagaimanapun, ada beberapa hal juga yang nggak bisa gue
lakukan tanpa teknologi. Menulis, misalnya. Sebagai penulis, gue lebih memilih
mengetik langsung ketimbang tulis tangan (tapi ini mungkin lebih karena faktor
bahwa tulisan tangan gue jelek sih). Gue juga banyak terbantu dengan software-software
musik, bereksperimen dengan jenis-jenis suara dari alat-alat musik yang sulit
ditemukan, atau untuk hanya sekadar membuat aransemen-aransemen musik.
Jadi, ya nggak bisa dibilang gue konvensional amat lah. Gue
tetap bisa memadukan hal-hal yang dikatakan klasik dengan teknologi-teknologi
terbaru zaman sekarang.
Ketika menulis ini, gue pun memandangi tumpukan buku-buku
koleksi gue, perpustakaan mini gue, yang isinya mungkin sudah ada ratusan judul.
Gue kembali berpikir: apakah kelak, 10 tahun lagi, tumpukan ini sudah
menjadi barang langka? Sedih juga rasanya berpisah dengan buku-buku ini.
Hahaha… ternyata perubahan zaman menuju teknologi canggih masih belum bisa
mengubah prinsip hidup gue. Gue tetaplah gue: si manusia konvensional.
Sabtu, 20 Oktober 2012
Satu Kebaikan Kecil Berbagi
Yono (bukan nama sebenarnya) naik ke bis kota ‘Kopaja’
petang itu. Pembawaannya selalu santai – T-shirt coklat polos, jeans hitam,
sendal jepit, tidak lupa topi rajut hitam yang selalu ada di kepalanya. Pas sekali,
ia naik ke bis saat bis sudah penuh! Semua penumpang lain duduk dan tinggal ia
sendiri yang tidak mendapat tempat duduk.
Bodo amat, pikirnya. Lalu ia pun jongkok dekat bagian
pintu depan. Khas Yono banget! Mana ada penumpang bis kota mau rela sampai
jongkok dalam bis hanya karena tidak mendapat tempat duduk. Penumpang lain
biasanya memilih bersandar di jendela, pada tiang atau berpegangan ke tiang yang
melintang di langit-langit. Tidak dengan Yono. Ia memilih jongkok.
Di mata penumpang lain, Yono mungkin tampak seperti preman
terminal, pengangguran, yang bawaannya pasti kasar. Tapi sebenarnya tidak seperti
itu. Yono membayar tarif bis, sama seperti penumpang lainnya.
Perjalanan berlanjut. Penumpang naik-turun di tengah jalan,
Yono masih saja jongkok di dekat pintu depan. Tidak lama kemudian, bis berhenti
dan naiklah rombongan penumpang lain: seorang ibu dengan tiga orang anak yang
masih kecil-kecil, belum ada yang sampai usia 10 tahun, dua perempuan dan satu
laki-laki. Sangat tampak bahwa mereka salah satu dari kelompok yang sumber
pendapatannya dari jalan, mungkin mengamen atau meminta-minta. Ibu dan dua anak
perempuan tadi naik ke pintu belakang sementara bocah laki-laki lewat pintu
depan.
Yang aneh lagi, bocah laki-laki ini tidak benar-benar masuk
ke dalam bis. Ia hanya berdiri di tangga terbawah dan bersandar ke pintu depan.
Ia berdiri sambil memegang kantong plastik putih, tepat di hadapan Yono yang masih
berjongkok.
Orang tua biasa pada umumnya pasti sudah menegur anaknya
kalau berdiri dalam posisi seperti itu di bis kota, atau paling tidak ditegur
oleh kondektur bis. Tapi tidak ada yang menegur. Anak ini sepertinya sudah terbiasa
dengan posisi berdirinya itu. Ekspresi wajahnya datar, tidak menunjukkan ekspresi
ketakutan akan jatuh ke jalan, tidak juga ekspresi menantang bahwa ia bisa menjaga
dirinya sendiri di tempat itu. Ekspresi wajahnya benar-benar… polos.
Yono tergelitik melihat bocah ini. Ia lalu menggeser posisi
jongkoknya sedikit agak ke depan. Tangannya meraih pinggiran pintu bis,
melintang di depan anak itu, memberikan sedikit rasa aman terhadap posisi si
bocah. Yono memperhatikan bocah itu sesaat, sementara si bocah semakin
malu-malu diperhatikan dalam jarak dekat seperti itu.
“Mau ke mana, dek?” tanya Yono, memulai pembicaraan.
“Taman Menteng,” jawab bocah itu singkat, pelan dan masih
tanpa ekspresi.
“Sama siapa?”
“Sama mama.”
“Kamu sekolah?”
Si bocah menggeleng. Tidak.
“Mama kerja apa?”
Diam. Tidak ada tanggapan dari si bocah.
Yono masih memperhatikannya sambil berpikir sejenak. Ia lalu
berdiri, mengambil sesuatu dari saku belakang celananya. Ada dua lembar uang
lima ribuan terlipat kusut. Bis yang bergerak cepat tidak memungkinkannya
menggunakan kedua tangannya – salah satu tangan harus berpegangan atau ia akan
terjatuh. Ia menjepit selembar di bibirnya, menariknya dari lipatan, lalu
memasukkan sisa selembar kembali ke sakunya. Selembar lima ribuan di bibirnya
lalu ia berikan pada si bocah.
Bocah itu menerimanya dengan diam dan memasukkannya ke saku
celananya.
“Bilang apa?”
“Makasih, Kak,” jawab bocah itu malu-malu.
Tidak lama setelah jawaban itu, bis berhenti di lampu merah
Taman Menteng. Bocah itu turun, berlari di trotoar sambil memanggil ibunya yang
dari tadi berdiri di bagian belakang bis bersama dua anak perempuan lainnya. “Ayo,
Ma!” katanya.
Rombongan itu turun dan berjalan menjauh dari bis. Yono menyaksikan
pemandangan itu masih sambil jongkok depan pintu bis. Seulas senyum menghiasi
wajahnya.
Lampu hijau. Bis kembali melaju. Yono kembali pada sikap
masa bodohnya sambil terus jongkok seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Tapi,
ia tahu, ada satu kebaikan berbagi lagi untuk hari itu.
Catatan penulis:
Tulisan ini terinspirasi dari kisah
nyata yang disaksikan langsung oleh penulis dari kursi bis kota. Memang tidak sama
persis dengan kejadian aslinya – penulis hanya samar-samar mendengar dialog
kedua orang depan pintu itu dan nama asli Yono sendiri pun tidak diketahui
penulis. Bagaimanapun juga, penulis tergelitik oleh sikap seorang pemuda, yang sekalipun
acuh tak acuh, tapi memiliki kebaikan hati untuk berbagi, sehingga penulis
tergerak untuk mengangkatnya menjadi sebuah cerita. Semoga kisah ini
mengispirasi kita juga.
Jakarta, 20 Oktober 2012
-J-
Kamis, 18 Oktober 2012
Sekalipun Hanya Sebatang Dahan Rapuh
Aku terbangun. Hal pertama yang ditangkap mataku adalah
pemandangan alam terbaik yang pernah aku lihat: pegunungan hijau dengan hutannya,
langit cerah dan terlihat beberapa ekor burung terbang. Menentramkan. Aku bahkan
tidak merasakan kakiku menjejak ke tanah. Aku berada di antara langit dan bumi.
Aku pasti sudah mati sekarang, menjadi arwah gentayangan. Ternyata tidak begitu
buruk.
“Sam…! Lu dengar nggak? Sam?” Aku mendengar suara dari atas,
tepatnya dari atas di belakangku.
“Rudi?” tanyaku dalam hati.
“Lu bisa lihat?” Terdengar suara gusar seorang wanita.
“Gue nggak bisa dekat-dekat ke ujung, ntar malah gue lagi yang
jatuh. Gue cuma bisa lihat kakinya dari sini. Ia menggantung.”
“Ya Tuhan!”
“Kita harus cari cara. Gue ke mobil. Kayaknya ada tali.”
“Pastiin dulu dia masih hidup. Dia dengar kita, kan?”
Suara ribut-ribut di atas masih berlangsung. Aku merasakan
cairan hangat di dahiku: darah segar. Aku mulai menyadari situasinya sekarang.
Sial! Berarti aku belum mati. Itu kabar baiknya. Kabar buruknya adalah aku
hidup tergantung di dinding tebing curam. Kaosku tersangkut di – entah apa ini?
Dahan mungkin. Dan 20 meter ke bawah yang terlihat hanya hijaunya hutan. Bisa dibayangkan
apa yang akan terjadi seandainya aku terjatuh…. Tidak, aku tidak mau
membayangkannya. Aku panik.
Awalnya adalah sebuah pesta yang dengan gila kami rencanakan:
kami satu geng akan menghabiskan akhir pekan, berkemah di pinggir tebing ini. Ini
gila karena tidak ada satupun di antara kami berlima – aku, Rudi, Rico, Yenny
dan Lina – yang paham dengan teknik dasar hidup di alam; tidak ada anak Pramuka
atau aktivis pecinta alam manapun. Peralatan kami pun seadanya. Ketika Rico
tadi mengatakan ia punya tali di mobil, aku ragu ia memilikinya.
Lalu semua ini terjadi ketika kami akan foto bersama, foto
kami berlima dengan latar belakang pegunungan. Aku rasa waktu itu langkahku
terlalu mundur ke belakang. Aku tidak mengantisipasi tanahnya yang semakin
menurun dan pasirnya licin. Terjadilah: aku terjatuh, kepalaku sempat terantuk
dan aku pingsan entah berapa lama hingga kemudian aku sadar seperti di awal
kisahku ini.
Kira-kira semenit berlalu setelah ribut-ribut di atas tadi,
aku berteriak panik, “Rud… RUDI!”
“Ia menjawab! Sam, lu nggak apa-apa? Please, lu
jangan panik! Kita bakal cari cara narik lu ke atas.”
Perintah untuk tidak panik justru membuat semakin panik.
Perlahan, aku mulai mempelajari situasinya. Pertama, aku
harus tahu dulu aku menggantung pada apa. Dahan? Seberapa kuat? Aku mengangkat
tanganku pelan-pelan, takut gerakanku sedikit saja akan membuat kesalahan
fatal. Aku menyentuh kerahku yang menggantung di belakang. Baiklah, itu memang
dahan, dan aku rasa cukup kuat.
Lalu….
Oh, tidak! Bagian kerah kaosku yang menggantung sepertinya
akan sobek. Aku bisa mendengar suara koyakannya.
Tanganku meraba dahan di atas, dekat kepalaku, mencari
posisi aman seandainya kaos ini memang sobek. Dan yang kutakutkan memang
terjadi. Beberapa detik kemudian, aku seperti merosot turun dan kaos itu sobek.
Spontan aku berteriak. Beruntung, sebelumnya tangan kananku sudah lebih dulu
menemukan pegangan yang kuat di dahan tersebut.
Sekarang posisiku berubah: menghadap ke dinding tebing dengan
tangan kanan menggantung ke dahan dan berada beberapa sentimeter ke bawah dari
posisi sebelumnya. Walaupun hanya bergeser beberapa senti, tapi aku merasa
takut bergeser dari posisi aman sebelumnya dan sepertinya semakin dekat saja
dengan maut.
“Sam? Lu nggak apa-apa?” kata Rudi menjawab teriakan
spontanku tadi.
“Cepetan woi!” Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Memaki?
Memaki kondisiku yang di ujung maut ini?
Rasanya lama sekali. Tanganku sudah lelah menggantung,
seperti mati rasa. Aku akan mencoba bertahan.
“Bertahan? Ha, lihat kondisi lu, Sammy! Cuma satu tangan
gantung gitu, lu nggak bakal selamat!”
Sial! Bisa-bisanya otakku memikirkan hal sebodoh itu di
saat-saat seperti ini! Tapi memang tidak bisa dipungkiri bahwa ada saat-saat
ketika pesimisme itu datang.
“Menggantung di dahan? Yang bener aja! Dahannya udah mau
patah, tuh!”
“Keparat!” jawabku sendiri, “mau patah kek, bodoh
amat! Yang penting gue nggak hilang harapan dulu! Walaupun harus menggantung di
seutas benang pun, yang penting gue masih punya tempat bergantung, gue masih
punya harapan!”
Krek…! Dahannya hampir patah. Ya Tuhan! Aku mencari
sekeliling, tidak ada lagi tempat bergantung selain dahan ini. Tangan kiriku
dan kakiku mencoba mencari pegangan dan pijakan ke bebatuan di dinding tebing,
sedikit meringankan beban si dahan dan juga tangan kananku sendiri. Kini posisiku
mirip atlet panjat tebing. Bedanya, tangan kananku pegang dahan, tanpa tali
pengaman dan jarakku ke bawah 20 meter.
Kalau ada saat untuk berdoa, mengaku dosa, mungkin ini saat
yang tepat. Aku sepertinya lebih relijius menggantung di sini ketimbang di
tempat ibadah. Rasanya ingin menangis, tapi toh tidak ada air mata yang bisa
keluar. Apa ini saatnya?
Lalu pemikiranku yang lain membawaku berbalik. “Mana asamu
yang tadi?” tegurku. Sekalipun hanya menggantung dengan posisi di ujung
maut seperti ini – walaupun mungkin hanya beberapa waktu sebelum dahan ini
patah dan semuanya berakhir – tapi aku menganggap itu pun suatu berkah. Beberapa
menit kesempatan terakhir untuk hidup dan aku bisa bertahan tanpa putus asa!
Kemudian seutas tali muncul di sebelah kiriku.
“Coba, Sam! Kalo lu udah dapat, teriak, biar kita tarik dari
atas,” teriak Rudi.
Tali itu hanya sedikit lebih tebal dari tali Pramuka biasa. Sepertinya
meragukan. Tapi kalau aku tidak meragukan dahan ini dan keyakinanku bertahan
padanya, mengapa aku harus meragukan tali ini dengan teman-temanku di atas?
Aku tidak tahu entah keajaiban seperti apa yang bisa
membuatku selamat pada waktu itu – aku, sebatang dahan rapuh, seutas tali tipis
dan sekumpulan anak-anak bodoh tapi bernyali besar. Saat aku berusaha menggapai
tali itu, aku menggunakan lebih banyak tenaga ketimbang yang kugunakan untuk hanya
sekadar menggantung, dan tepat ketika aku menggenggam tali, dahan itu patah. Ia
sudah menunaikan tugasnya, tumbuh entah berapa lama di situ hingga akhirnya
menyelamatkanku.
Hingga sekarang, aku tidak akan melupakan peristiwa itu. Banyak
hal dalam hidup yang bisa membuat seseorang putus asa. Mungkin tidak benar-benar
di ujung maut, tapi masalah besar yang bisa membuat kita benar-benar putus asa.
Kehidupan sehari-hari kita mungkin bukan di alam liar – bisa di kantor, rumah,
sekolah, di manapun, dan kita pasti akan menghadapi masalah.
Aku kembali mengingat peristiwa itu. Aku akan terus
bergantung, serapuh apapun tempatku bergantung saat itu. Ini akan menguatkan
kembali asaku. Aku mungkin tidak lagi berhadapan dengan dahan rapuh, tapi akan
menjumpai sumber daya yang terbatas. Mungkin tidak ada lagi kaos yang sobek,
tapi masih menjumpai secuil ide untuk bertahan. Lagipula masih ada teman-teman
di luar sana yang bersedia membantu, sekalipun tampaknya konyol tapi toh
berguna juga. Ini semua membantu nyala harapan itu tetap ada sekalipun redup.
Langganan:
Postingan (Atom)