Kamis, 22 November 2012

Kalau Kita Mengaku Beragama, Mengapa Kita Bertikai?



Saya heran dengan sikap beberapa orang di luar sana, mereka yang semakin beragama tampaknya justru semakin memupuk kebencian mendalam terhadap manusia lain. Di satu sisi, mereka menyembah Tuhan, mengagungkan-Nya, berterima kasih atas semua ciptaan-Nya, sementara di sisi lain mereka membenci sesama manusia ciptaan Tuhan. Bukankah itu justru dua hal yang bertolak belakang?

Selasa, 30 Oktober 2012

Menunda Pekerjaan

Apakah Anda termasuk orang yang senang menunda-nunda pekerjaan? Jika ya, mungkin lelucon dari Negeri Paman Sam berikut ini bisa menegur kebiasaan Anda itu.

Adalah seorang petani yang tinggal di sebuah lahan dan memiliki beberapa ekor sapi. Suatu hari, ia membawa sapi-sapinya keluar merumput ke padang. Di tengah jalan, ia melihat pagar kayu yang sudah rusak. Ia memang pernah berencana akan memperbaikinya, tapi selalu saja tidak sempat, hingga beberapa hari lalu badai membuat kerusakannya semakin parah.

"Jangan ditunda lagi," katanya. Kemudian ia pergi ke gudang untuk mengambil peralatannya.

Sesampainya di gudang, ia menemukan tempat itu berantakan sekali; perkakasnya tergeletak di mana-mana. Ia lalu merapikannya, menaruhnya ke tempatnya satu per satu. Kemudian ia teringat bahwa palunya tertinggal di dapur. Ia menuju ke dapur.

Di dapur, ia menemukan empat keranjang penuh sampah dan ia ingat kalau hari itu adalah hari mengangkut sampah. Bergegas, ia menyeret keranjang-keranjang sampah yang berat itu melalui jalan setapak depan rumahnya ke tepi jalan besar. Di tengah jalan, ia menemukan koran hari itu, tergeletak begitu saja, ditinggalkan oleh si tukang koran. Berita utamanya menarik perhatiannya.

"Tidak ada salahnya kalau aku menyisihkan waktuku lima menit untuk berita ini," katanya, lalu menuju ke beranda depan dan membaca koran; sementara sapi-sapinya sudah merumput entah ke mana.

Percayalah, menunda pekerjaan membuat segala sesuatunya menjadi lebih... buruk.

(Diceritakan ulang dari "I'll do it tomorrow: how to stop putting it off and get it done today" oleh Jerry & Kirsti Newcombe, 1999, chapter 6)

Minggu, 28 Oktober 2012

Sudah 84 Tahun



28 Oktober 1928
Setiap pemuda serempak berkata
“Satu nusa, satu bangsa!”

17 tahun kemudian
Kurang 2 bulan
Teriakan itu diganti dengan teriakan lain
“MERDEKA!”

Lalu
Waktu berlalu…

84 tahun kemudian
Kurang 3 bulan

Yang semula mengaku satu
Dipecah belah demi kepentingan politik:
Agama, etnis
Isu SARA ditebar demi kemenangan pemilihan kepala daerah

84 tahun kemudian
Kurang 1 bulan

Ketika pemuda dulu meneriakkan kata “satu”
Pemuda sekarang pun meneriakkan kata “satu”
Satu dalam kelompok masing-masing
Satu kelompok lawan satu kelompok
Satu sekolah lawan satu sekolah
Nyawa melayang
“Satu” seperti itukah yang dicari 84 tahun silam?

84 tahun kemudian
Kurang 1 hari

Kala pemuda dulu mengangkat senjata melawan penjajahan
Pemuda kini pun mengangkat senjata
Lalu Densus 88 bertindak
Perlawanan seperti itukah yang dicari–
perlawanan yang membuat “satu” itu pecah?

Sudah 84 tahun
Masih perlukah kuceritakan padamu hal lain?
Oh, masih banyak, tentu saja!

Tidakkah kau lihat para pejabat berbaju tahanan itu?
Ketika teriakan “SATU” mereka abaikan demi kepentingan perut sendiri
Sementara yang di luar jeruji pun masih banyak
yang ogah-ogahan mewujudkan kesatuan

Bagaimana dengan kelompok kepercayaan minoritas?
Tempat ibadah ditutup,
yang tidak sealiran diusir
Beberapa ber-satu menghancurkan rumah ibadah

Atau kuajak kau ke pelosok nun jauh di sana
Ketika melihatnya, kau akan menyimpulkan
bahwa “SATU” adalah satu kemakmuran
bagi masyarakat wilayah tertentu, tapi bukan bagi mereka

“Satu” seperti itukah yang kita maksudkan dahulu?
Satu agama? Satu suku? Satu ras? Satu kelompok kepentingan?

Namun
Teriakan 84 tahun silam itu masih terdengar walau sayup
Dengarkanlah,
“SATU NUSA, SATU BANGSA!”
 ***

Hari Peringatan Sumpah Pemuda tahun 2012

Kalau Kita Mengaku Satu

Kalau kita mengaku 'SATU'
Tidak ada lagi yang saling membenci

atas dasar perbedaan suku, ras, agama

Kalau kita mengaku 'SATU'
Ketika aku menyakitimu,

sama saja dengan menyakiti diriku sendiri, demikian pula sebaliknya

Kalau kita mengaku 'SATU'
Tidak ada yang mementingkan diri sendiri,

meraup kekayaan bangsa ini untuk kepentingan pribadi

Kalau kita mengaku 'SATU'
Kita semua bergerak untuk kemajuan bersama
Tidak ada yang tinggal diam berpangku tangan

Kalau saja kita memang benar-benar 'SATU'...
***

Palabuhanratu, Sukabumi
Hari Peringatan Sumpah Pemuda tahun 2012

(kepikiran di tengah jalan, sempat diposting ke Facebook, daripada lupa)

Kamis, 25 Oktober 2012

A Conventional Man



Malam ini gue mengunjungi toko buku kecil langganan gue. Tokonya memang kecil, koleksinya sedikit, tapi selalu menarik minat gue karena koleksinya yang langka. Entah mengapa, sambil memilih buku, terlintas di pikiran gue dengan tiba-tiba: semua ini, suatu saat kelak, bakal menjadi sejarah.

Ya, dunia sekarang memang sedang beralih ke teknologi digital, termasuk literatur. Orang-orang sudah beralih, memilih buku digital ketimbang lembaran-lembaran buku biasa. Tapi berbeda dengan gue.

Bagi gue, sensasi membuka lembaran-lembaran buku itu tidak tertandingi! Meraba sampulnya, merasakan teksturnya, merasakan jari-jemari bergerak membolak-balik halaman, mencium uniknya aroma kertas buku baru dan buku tua, menyaksikan warna lembaran-lembaran kertas menua menjadi cokelat seiring waktu; sensasi-sensasi seperti ini yang nggak gue temukan di buku digital.

Nggak hanya di dunia literatur, sebenarnya. Gue bahkan konvensional dalam banyak hal! Di musik, misalnya. Memang, sudah ada yang namanya piano digital. Tapi ketika gue memainkannya, rasanya ada yang kurang. Gue nggak bisa merasakan sensasi hammer yang memukul senar. Berbeda kalo gue main piano biasa, dimana ada semacam soul yang menyatu antara gue dengan si piano, gue mengatur tekanan pada tuts, keras atau lembut, dan gue bisa merasakan hammer piano pun bergerak halus atau lembut seiring tekanan gue pada tuts.

Ketika gue memetik gitar akustik, warna suara senar gitar yang khas langsung dikenal telinga gue. Tapi ketika gitarnya disambung ke speaker, gue udah nggak menemukan warna suara yang sama lagi. Gue lebih menikmati pertunjukan musik, entah konser atau recital, dimana suara yang terdengar dihasilkan langsung oleh alat musiknya, ketimbang konser-konser dengan sound system megah. Gue lebih senang menonton pertunjukan musik langsung dibanding mendengar rekamannya saja.

Tapi bukan berarti gue menolak semua hal yang kontemporer. Gue nggak gaptek lah, tapi gue menempatkan teknologi hanya pada saat dibutuhkan aja. Gue udah mulai mengoleksi buku-buku digital, khususnya yang sudah amat sangat langka, hingga tidak bisa ditemukan di toko buku manapun lagi. Gue juga bermain piano digital kalau memang yang tersedia ya instrumen itu saja. Gue juga nggak menolak sound system, pengeras suara, apalagi kalau berhadapan dengan audiens banyak dan gedung besar.

Bagaimanapun, ada beberapa hal juga yang nggak bisa gue lakukan tanpa teknologi. Menulis, misalnya. Sebagai penulis, gue lebih memilih mengetik langsung ketimbang tulis tangan (tapi ini mungkin lebih karena faktor bahwa tulisan tangan gue jelek sih). Gue juga banyak terbantu dengan software-software musik, bereksperimen dengan jenis-jenis suara dari alat-alat musik yang sulit ditemukan, atau untuk hanya sekadar membuat aransemen-aransemen musik.

Jadi, ya nggak bisa dibilang gue konvensional amat lah. Gue tetap bisa memadukan hal-hal yang dikatakan klasik dengan teknologi-teknologi terbaru zaman sekarang.

Ketika menulis ini, gue pun memandangi tumpukan buku-buku koleksi gue, perpustakaan mini gue, yang isinya mungkin sudah ada ratusan judul. Gue kembali berpikir: apakah kelak, 10 tahun lagi, tumpukan ini sudah menjadi barang langka? Sedih juga rasanya berpisah dengan buku-buku ini. Hahaha… ternyata perubahan zaman menuju teknologi canggih masih belum bisa mengubah prinsip hidup gue. Gue tetaplah gue: si manusia konvensional.

Sabtu, 20 Oktober 2012

Satu Kebaikan Kecil Berbagi



Yono (bukan nama sebenarnya) naik ke bis kota ‘Kopaja’ petang itu. Pembawaannya selalu santai – T-shirt coklat polos, jeans hitam, sendal jepit, tidak lupa topi rajut hitam yang selalu ada di kepalanya. Pas sekali, ia naik ke bis saat bis sudah penuh! Semua penumpang lain duduk dan tinggal ia sendiri yang tidak mendapat tempat duduk.

Bodo amat, pikirnya. Lalu ia pun jongkok dekat bagian pintu depan. Khas Yono banget! Mana ada penumpang bis kota mau rela sampai jongkok dalam bis hanya karena tidak mendapat tempat duduk. Penumpang lain biasanya memilih bersandar di jendela, pada tiang atau berpegangan ke tiang yang melintang di langit-langit. Tidak dengan Yono. Ia memilih jongkok.

Di mata penumpang lain, Yono mungkin tampak seperti preman terminal, pengangguran, yang bawaannya pasti kasar. Tapi sebenarnya tidak seperti itu. Yono membayar tarif bis, sama seperti penumpang lainnya.

Perjalanan berlanjut. Penumpang naik-turun di tengah jalan, Yono masih saja jongkok di dekat pintu depan. Tidak lama kemudian, bis berhenti dan naiklah rombongan penumpang lain: seorang ibu dengan tiga orang anak yang masih kecil-kecil, belum ada yang sampai usia 10 tahun, dua perempuan dan satu laki-laki. Sangat tampak bahwa mereka salah satu dari kelompok yang sumber pendapatannya dari jalan, mungkin mengamen atau meminta-minta. Ibu dan dua anak perempuan tadi naik ke pintu belakang sementara bocah laki-laki lewat pintu depan.

Yang aneh lagi, bocah laki-laki ini tidak benar-benar masuk ke dalam bis. Ia hanya berdiri di tangga terbawah dan bersandar ke pintu depan. Ia berdiri sambil memegang kantong plastik putih, tepat di hadapan Yono yang masih berjongkok.

Orang tua biasa pada umumnya pasti sudah menegur anaknya kalau berdiri dalam posisi seperti itu di bis kota, atau paling tidak ditegur oleh kondektur bis. Tapi tidak ada yang menegur. Anak ini sepertinya sudah terbiasa dengan posisi berdirinya itu. Ekspresi wajahnya datar, tidak menunjukkan ekspresi ketakutan akan jatuh ke jalan, tidak juga ekspresi menantang bahwa ia bisa menjaga dirinya sendiri di tempat itu. Ekspresi wajahnya benar-benar… polos.

Yono tergelitik melihat bocah ini. Ia lalu menggeser posisi jongkoknya sedikit agak ke depan. Tangannya meraih pinggiran pintu bis, melintang di depan anak itu, memberikan sedikit rasa aman terhadap posisi si bocah. Yono memperhatikan bocah itu sesaat, sementara si bocah semakin malu-malu diperhatikan dalam jarak dekat seperti itu.

“Mau ke mana, dek?” tanya Yono, memulai pembicaraan.

“Taman Menteng,” jawab bocah itu singkat, pelan dan masih tanpa ekspresi.

“Sama siapa?”

“Sama mama.”

“Kamu sekolah?”

Si bocah menggeleng. Tidak.

“Mama kerja apa?”

Diam. Tidak ada tanggapan dari si bocah.

Yono masih memperhatikannya sambil berpikir sejenak. Ia lalu berdiri, mengambil sesuatu dari saku belakang celananya. Ada dua lembar uang lima ribuan terlipat kusut. Bis yang bergerak cepat tidak memungkinkannya menggunakan kedua tangannya – salah satu tangan harus berpegangan atau ia akan terjatuh. Ia menjepit selembar di bibirnya, menariknya dari lipatan, lalu memasukkan sisa selembar kembali ke sakunya. Selembar lima ribuan di bibirnya lalu ia berikan pada si bocah.

Bocah itu menerimanya dengan diam dan memasukkannya ke saku celananya.

“Bilang apa?”

“Makasih, Kak,” jawab bocah itu malu-malu.

Tidak lama setelah jawaban itu, bis berhenti di lampu merah Taman Menteng. Bocah itu turun, berlari di trotoar sambil memanggil ibunya yang dari tadi berdiri di bagian belakang bis bersama dua anak perempuan lainnya. “Ayo, Ma!” katanya.

Rombongan itu turun dan berjalan menjauh dari bis. Yono menyaksikan pemandangan itu masih sambil jongkok depan pintu bis. Seulas senyum menghiasi wajahnya.

Lampu hijau. Bis kembali melaju. Yono kembali pada sikap masa bodohnya sambil terus jongkok seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Tapi, ia tahu, ada satu kebaikan berbagi lagi untuk hari itu.

Catatan penulis:
Tulisan ini terinspirasi dari kisah nyata yang disaksikan langsung oleh penulis dari kursi bis kota. Memang tidak sama persis dengan kejadian aslinya – penulis hanya samar-samar mendengar dialog kedua orang depan pintu itu dan nama asli Yono sendiri pun tidak diketahui penulis. Bagaimanapun juga, penulis tergelitik oleh sikap seorang pemuda, yang sekalipun acuh tak acuh, tapi memiliki kebaikan hati untuk berbagi, sehingga penulis tergerak untuk mengangkatnya menjadi sebuah cerita. Semoga kisah ini mengispirasi kita juga.

Jakarta, 20 Oktober 2012
-J-

Kamis, 18 Oktober 2012

Sekalipun Hanya Sebatang Dahan Rapuh



Aku terbangun. Hal pertama yang ditangkap mataku adalah pemandangan alam terbaik yang pernah aku lihat: pegunungan hijau dengan hutannya, langit cerah dan terlihat beberapa ekor burung terbang. Menentramkan. Aku bahkan tidak merasakan kakiku menjejak ke tanah. Aku berada di antara langit dan bumi. Aku pasti sudah mati sekarang, menjadi arwah gentayangan. Ternyata tidak begitu buruk.

“Sam…! Lu dengar nggak? Sam?” Aku mendengar suara dari atas, tepatnya dari atas di belakangku.

“Rudi?” tanyaku dalam hati.

“Lu bisa lihat?” Terdengar suara gusar seorang wanita.

“Gue nggak bisa dekat-dekat ke ujung, ntar malah gue lagi yang jatuh. Gue cuma bisa lihat kakinya dari sini. Ia menggantung.”

“Ya Tuhan!”

“Kita harus cari cara. Gue ke mobil. Kayaknya ada tali.”

“Pastiin dulu dia masih hidup. Dia dengar kita, kan?”

Suara ribut-ribut di atas masih berlangsung. Aku merasakan cairan hangat di dahiku: darah segar. Aku mulai menyadari situasinya sekarang. Sial! Berarti aku belum mati. Itu kabar baiknya. Kabar buruknya adalah aku hidup tergantung di dinding tebing curam. Kaosku tersangkut di – entah apa ini? Dahan mungkin. Dan 20 meter ke bawah yang terlihat hanya hijaunya hutan. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi seandainya aku terjatuh…. Tidak, aku tidak mau membayangkannya. Aku panik.

Awalnya adalah sebuah pesta yang dengan gila kami rencanakan: kami satu geng akan menghabiskan akhir pekan, berkemah di pinggir tebing ini. Ini gila karena tidak ada satupun di antara kami berlima – aku, Rudi, Rico, Yenny dan Lina – yang paham dengan teknik dasar hidup di alam; tidak ada anak Pramuka atau aktivis pecinta alam manapun. Peralatan kami pun seadanya. Ketika Rico tadi mengatakan ia punya tali di mobil, aku ragu ia memilikinya.

Lalu semua ini terjadi ketika kami akan foto bersama, foto kami berlima dengan latar belakang pegunungan. Aku rasa waktu itu langkahku terlalu mundur ke belakang. Aku tidak mengantisipasi tanahnya yang semakin menurun dan pasirnya licin. Terjadilah: aku terjatuh, kepalaku sempat terantuk dan aku pingsan entah berapa lama hingga kemudian aku sadar seperti di awal kisahku ini.

Kira-kira semenit berlalu setelah ribut-ribut di atas tadi, aku berteriak panik, “Rud… RUDI!”

“Ia menjawab! Sam, lu nggak apa-apa? Please, lu jangan panik! Kita bakal cari cara narik lu ke atas.”

Perintah untuk tidak panik justru membuat semakin panik.

Perlahan, aku mulai mempelajari situasinya. Pertama, aku harus tahu dulu aku menggantung pada apa. Dahan? Seberapa kuat? Aku mengangkat tanganku pelan-pelan, takut gerakanku sedikit saja akan membuat kesalahan fatal. Aku menyentuh kerahku yang menggantung di belakang. Baiklah, itu memang dahan, dan aku rasa cukup kuat.

Lalu….

Oh, tidak! Bagian kerah kaosku yang menggantung sepertinya akan sobek. Aku bisa mendengar suara koyakannya.

Tanganku meraba dahan di atas, dekat kepalaku, mencari posisi aman seandainya kaos ini memang sobek. Dan yang kutakutkan memang terjadi. Beberapa detik kemudian, aku seperti merosot turun dan kaos itu sobek. Spontan aku berteriak. Beruntung, sebelumnya tangan kananku sudah lebih dulu menemukan pegangan yang kuat di dahan tersebut.

Sekarang posisiku berubah: menghadap ke dinding tebing dengan tangan kanan menggantung ke dahan dan berada beberapa sentimeter ke bawah dari posisi sebelumnya. Walaupun hanya bergeser beberapa senti, tapi aku merasa takut bergeser dari posisi aman sebelumnya dan sepertinya semakin dekat saja dengan maut.

“Sam? Lu nggak apa-apa?” kata Rudi menjawab teriakan spontanku tadi.

“Cepetan woi!” Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Memaki? Memaki kondisiku yang di ujung maut ini?

Rasanya lama sekali. Tanganku sudah lelah menggantung, seperti mati rasa. Aku akan mencoba bertahan.

“Bertahan? Ha, lihat kondisi lu, Sammy! Cuma satu tangan gantung gitu, lu nggak bakal selamat!”

Sial! Bisa-bisanya otakku memikirkan hal sebodoh itu di saat-saat seperti ini! Tapi memang tidak bisa dipungkiri bahwa ada saat-saat ketika pesimisme itu datang.

“Menggantung di dahan? Yang bener aja! Dahannya udah mau patah, tuh!”

“Keparat!” jawabku sendiri, “mau patah kek, bodoh amat! Yang penting gue nggak hilang harapan dulu! Walaupun harus menggantung di seutas benang pun, yang penting gue masih punya tempat bergantung, gue masih punya harapan!”

Krek…! Dahannya hampir patah. Ya Tuhan! Aku mencari sekeliling, tidak ada lagi tempat bergantung selain dahan ini. Tangan kiriku dan kakiku mencoba mencari pegangan dan pijakan ke bebatuan di dinding tebing, sedikit meringankan beban si dahan dan juga tangan kananku sendiri. Kini posisiku mirip atlet panjat tebing. Bedanya, tangan kananku pegang dahan, tanpa tali pengaman dan jarakku ke bawah 20 meter.

Kalau ada saat untuk berdoa, mengaku dosa, mungkin ini saat yang tepat. Aku sepertinya lebih relijius menggantung di sini ketimbang di tempat ibadah. Rasanya ingin menangis, tapi toh tidak ada air mata yang bisa keluar. Apa ini saatnya?

Lalu pemikiranku yang lain membawaku berbalik. “Mana asamu yang tadi?” tegurku. Sekalipun hanya menggantung dengan posisi di ujung maut seperti ini – walaupun mungkin hanya beberapa waktu sebelum dahan ini patah dan semuanya berakhir – tapi aku menganggap itu pun suatu berkah. Beberapa menit kesempatan terakhir untuk hidup dan aku bisa bertahan tanpa putus asa!

Kemudian seutas tali muncul di sebelah kiriku.

“Coba, Sam! Kalo lu udah dapat, teriak, biar kita tarik dari atas,” teriak Rudi.

Tali itu hanya sedikit lebih tebal dari tali Pramuka biasa. Sepertinya meragukan. Tapi kalau aku tidak meragukan dahan ini dan keyakinanku bertahan padanya, mengapa aku harus meragukan tali ini dengan teman-temanku di atas?

Aku tidak tahu entah keajaiban seperti apa yang bisa membuatku selamat pada waktu itu – aku, sebatang dahan rapuh, seutas tali tipis dan sekumpulan anak-anak bodoh tapi bernyali besar. Saat aku berusaha menggapai tali itu, aku menggunakan lebih banyak tenaga ketimbang yang kugunakan untuk hanya sekadar menggantung, dan tepat ketika aku menggenggam tali, dahan itu patah. Ia sudah menunaikan tugasnya, tumbuh entah berapa lama di situ hingga akhirnya menyelamatkanku.

Hingga sekarang, aku tidak akan melupakan peristiwa itu. Banyak hal dalam hidup yang bisa membuat seseorang putus asa. Mungkin tidak benar-benar di ujung maut, tapi masalah besar yang bisa membuat kita benar-benar putus asa. Kehidupan sehari-hari kita mungkin bukan di alam liar – bisa di kantor, rumah, sekolah, di manapun, dan kita pasti akan menghadapi masalah.

Aku kembali mengingat peristiwa itu. Aku akan terus bergantung, serapuh apapun tempatku bergantung saat itu. Ini akan menguatkan kembali asaku. Aku mungkin tidak lagi berhadapan dengan dahan rapuh, tapi akan menjumpai sumber daya yang terbatas. Mungkin tidak ada lagi kaos yang sobek, tapi masih menjumpai secuil ide untuk bertahan. Lagipula masih ada teman-teman di luar sana yang bersedia membantu, sekalipun tampaknya konyol tapi toh berguna juga. Ini semua membantu nyala harapan itu tetap ada sekalipun redup.