Rabu, 04 April 2012

Birokrasi oh Birokrasi


Ini hanyalah salah satu kisah ketika birokrasi terlalu berbelit-belit dan alur informasi terlalu panjang.

“Buka gerbangnya!” kata orang itu.
Pengawas menara melihatnya. Ia terluka dan sepertinya bukan dari pihak musuh. “Buka gerbangnya! Ada orang terluka di luar,” katanya kepada penjaga gerbang.
Gerbang dibukakan, orang tadi langsung masuk dan jatuh tersungkur ke tanah. Penjaga gerbang langsung mendekatinya. “Ada apa?” tanyanya.
Orang itu terluka parah. Darah mengucur dari lengannya akibat tersayat pedang. Ia sekarat. “Tolong… beritahu raja,” katanya.
“Apa? Aku tidak bisa mendengarmu,” kata penjaga gerbang, berusaha mendengarkan perkataan orang itu. Ia mendekatkan telinganya ke orang yang masih berbaring di tanah itu.
“Semua tewas…. Mereka… mendekat ke mari…. Raja… harus… segera pergi.” Setelah mengucapkan kata-kata itu, ia menghembuskan nafas terakhirnya.
“Apa katanya?” kata kepala pasukan penjaga gerbang. Ia segera menuju ke situ begitu mendengar ada keributan di gerbang.
“Tidak jelas, Tuan. Sepertinya ia berusaha mengatakan kalau semua tentara kita telah tewas dan pasukan musuh segera mendekat ke sini. Raja harus diberitahu untuk segera pergi.”
“Ini kabar buruk! Tinggallah di sini, segera beri sinyal kalau ada tanda bahaya. Aku yang akan menyampaikannya ke istana.”
Kepala pasukan penjaga gerbang bergegas menuju ke arah istana. Tidak begitu jauh, ia berpapasan dengan komandan pasukan.
“Saya mendengar ada ribut-ribut di gerbang. Ada apa?” tanya komandan pasukan.
“Seseorang kabur dari medan perang….”
“Tunggu! Maksudmu ada pengecut yang kabur dari perang dan saat ini membuat keributan di gerbang?”
“Tidak, bukan begitu, Tuan. Orang ini terluka dan ia mengatakan kalau tentara kita tewas, ada pasukan sedang menuju ke mari dan raja harus segera pergi.”
“Bagaimana ciri orang itu?”
“Tingginya sedang, berambut gelap, eh, dari pakaiannya, sepertinya jabatannya tidak terlalu tinggi dan….”
“Huh! Saya kenal prajurit macam itu. Ia cuma pengecut yang tahunya hanya bikin sensasi saja.”
“Tapi, percayalah, Tuan. Akan ada bahaya besar yang datang mengancam sebentar lagi.”
Komandan pasukan memandang curiga kepadanya. Ia berbalik kepada ajudan yang mengikutinya, seorang prajurit muda. “Kau dengar itu? Segera lari ke istana dan sampaikan kabar ini! Dan kau…,” katanya kembali kepada kepala pasukan penjaga gerbang, “… kalau memang akan ada bahaya, sebaiknya kau kembali ke gerbang dan laksanakan tugasmu!”
“Siap, Tuan!” jawabnya kurang bersemangat karena merasa kabar yang ia sampaikan tidak ditanggapi serius.

Sementara itu, prajurit muda tadi berlari ke istana untuk menyampaikan kabar yang baru saja ia dengar.
“Hei, hei! Mau ke mana kau?” tegur pengawal pintu istana ketika melihatnya lari menerobos begitu saja.
“Ada kabar yang harus saya sampaikan ke raja,” jawab prajurit muda tadi.
“Pikirmu, siapa kau? Sudah berapa lama kau bertugas?”
“Baru tujuh bulan, Tuan.”
“Huh, pantas saja kau tidak mengerti protokol istana. Walaupun sudah menjadi prajurit, kau tidak bisa sembarangan begitu saja menghadap raja.”
“Tapi ini berita penting….”
“Sama saja! Kau tetap harus mengikuti prosedurnya. Kau harus menghadap kanselir dulu. Biar kuantar kau ke kantornya.”
Kantor kanselir masih berada dalam lingkungan istana, tidak jauh dari taman istana. Begitu masuk, si prajurit muda langsung berhadapan dengan asisten kanselir yang sedang duduk menulis di sebuah meja dengan pena bulunya.
“Saya harus segera bertemu kanselir, Tuan. Ada kabar penting yang harus diteruskan ke raja,” kata prajurit muda tadi, masih gugup dengan prosedur yang berbelit-belit ini.
“Beliau sedang ada urusan, tidak bisa diganggu. Kalau mau, sampaikan ke sini saja, biar aku yang akan meneruskannya nanti,” kata si asisten kanselir sambil tetap menulis tanpa sekalipun mengangkat wajahnya menatap si pembawa pesan.
“Ada kabar dari medan perang, Tuan. Saya mendengar tentara kita tewas dan ada pasukan menuju ke mari. Raja harus segera diberitahu untuk pergi.”
Mendengar kata “medan perang,” asisten kanselir langsung mengangkat wajahnya dan menatap dalam-dalam si prajurit muda. “Kau mendengar, katamu?”
“Ya, saya mendengarnya, Tuan.”
“Tapi kau tidak diberitahu langsung? Jadi, kau hanya mendengarnya saja?”
Prajurit itu berpikir lama, lalu akhirnya ia menjawab, “Ya, Tuan. Seperti itulah.” Ia sendiri sepertinya masih ragu dengan jawabannya.
“Masih ada lagi yang kau dengar, yang ingin kau sampaikan pada, eh… raja?”
“Tidak, Tuan.”
“Kalau begitu, urusanmu di sini sudah selesai,” jawab asisten kanselir singkat, lalu kembali sibuk dengan tulisannya.
“Terima kasih,” kata prajurit itu lalu keluar dengan enggan, kuatir pesannya tidak disampaikan. Negara benar-benar dalam keadaan darurat saat ini.

Tidak lama kemudian, asisten kanselir melihat atasannya lewat dengan tergesa-gesa.
“Eh, Tuan,” katanya sambil meletakkan pena bulunya dan mengejar kanselir. “Baru saja ada pembawa pesan dari medan perang untuk raja.”
“Penting atau tidak? Saya katakan, saya sedang ada urusan. Pesan tadi itu, penting atau tidak?” kata kanselir dan menghentikan langkahnya.
“Sepertinya begitu, Tuan. Tapi saya sendiri tidak begitu….”
“Kalau begitu, terima kasih,” ia memotong kata-katanya lalu lanjut berjalan.
“Tapi, Tuan,” si ajudan kembali mengejar, “pembawa pesan tadi berkata kalau ada tentara kita tewas, ada juga pasukan sedang bergerak ke sini dan raja harus diberitahu untuk segera pergi.”
Kanselir tiba-tiba menghentikan langkahnya. “Kenapa tidak bilang dari tadi? Ini kabar penting untuk raja!”

Maka kanselir masuk menghadap raja ke dalam istana. “Saya membawa pesan dari medan perang untuk raja,” katanya sambil memberi hormat. “Yang Mulia, saya mendengar kalau beberapa tentara kita tewas dan….”
“Tewas, katamu? Maksudmu, kita kalah?”
“Dan lagi, Yang Mulia," ia melanjutkan kata-katanya, mengabaikan sementara pertanyaan raja, "ada pasukan sedang bergerak menuju ke sini dan Yang Mulia diminta untuk segera pergi.”
“Itu kabar baik! Kenapa tidak bilang dari tadi?” kata raja. “Pasukan yang menuju ke sini pastilah pasukan yang tersisa, dan kalau aku diminta untuk pergi menyambut mereka, pastilah mereka telah menang!
“Segera perintahkan penjaga gerbang untuk membuka gerbang. Aku sendiri yang akan keluar menyambut pahlawan-pahlawan kita.”

Sementara itu, di gerbang kota, kepala pasukan penjaga gerbang bersama anak buahnya menunggu dengan khawatir. Mengapa mereka begitu lama? Apakah raja sudah mendengar kabar itu? Atau mungkin raja sudah dari tadi mengungsi lewat gerbang belakang kota yang tersembunyi dan tidak diketahui musuh.
Kemudian pengawal khusus istana datang dan memerintahkan gerbang segera dibuka. Apa?! Kepala pasukan penjaga gerbang tidak percaya dengan perintah yang didengarnya. Ia berusaha meyakinkan pengawal khusus istana tentang situasi sebenarnya tapi mereka juga tidak mau tahu. Yang mereka tahu hanyalah bahwa raja memerintahkan gerbang dibuka dan siapapun yang menentang perintah raja pastilah dihukum.
Sementara mereka berdebat, terdengar teriakan dari atas menara, “Musuh menyerang!” Lalu seseorang jatuh dari atas menara. Pengawas menara telah tewas terpanah! Terdengar suara ribut-ribut dari balik gerbang. Pasukan musuh sudah mulai mendobrak.
Rombongan raja sendiri sedang bergerak menuju gerbang. Mereka tidak tahu situasi sebenarnya yang sedang terjadi di gerbang kota. Sekalipun mereka tahu, sudah terlambat. Musuh sudah hampir berhasil masuk dan raja tidak akan sempat mencari tempat persembunyian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar