Ini hanyalah salah satu kisah ketika birokrasi terlalu berbelit-belit dan alur informasi terlalu panjang.
“Buka
gerbangnya!” kata orang itu.
Pengawas
menara melihatnya. Ia terluka dan sepertinya bukan dari pihak musuh. “Buka
gerbangnya! Ada orang terluka di luar,” katanya kepada penjaga gerbang.
Gerbang
dibukakan, orang tadi langsung masuk dan jatuh tersungkur ke tanah. Penjaga
gerbang langsung mendekatinya. “Ada apa?” tanyanya.
Orang itu
terluka parah. Darah mengucur dari lengannya akibat tersayat pedang. Ia
sekarat. “Tolong… beritahu raja,” katanya.
“Apa? Aku
tidak bisa mendengarmu,” kata penjaga gerbang, berusaha mendengarkan perkataan
orang itu. Ia mendekatkan telinganya ke orang yang masih berbaring di tanah
itu.
“Semua tewas….
Mereka… mendekat ke mari…. Raja… harus… segera pergi.” Setelah mengucapkan
kata-kata itu, ia menghembuskan nafas terakhirnya.
“Apa katanya?”
kata kepala pasukan penjaga gerbang. Ia segera menuju ke situ begitu mendengar
ada keributan di gerbang.
“Tidak jelas,
Tuan. Sepertinya ia berusaha mengatakan kalau semua tentara kita telah tewas
dan pasukan musuh segera mendekat ke sini. Raja harus diberitahu untuk segera
pergi.”
“Ini kabar
buruk! Tinggallah di sini, segera beri sinyal kalau ada tanda bahaya. Aku yang
akan menyampaikannya ke istana.”
Kepala pasukan
penjaga gerbang bergegas menuju ke arah istana. Tidak begitu jauh, ia berpapasan
dengan komandan pasukan.
“Saya
mendengar ada ribut-ribut di gerbang. Ada apa?” tanya komandan pasukan.
“Seseorang
kabur dari medan perang….”
“Tunggu!
Maksudmu ada pengecut yang kabur dari perang dan saat ini membuat keributan di
gerbang?”
“Tidak, bukan
begitu, Tuan. Orang ini terluka dan ia mengatakan kalau tentara kita tewas, ada
pasukan sedang menuju ke mari dan raja harus segera pergi.”
“Bagaimana
ciri orang itu?”
“Tingginya
sedang, berambut gelap, eh, dari pakaiannya, sepertinya jabatannya tidak
terlalu tinggi dan….”
“Huh! Saya
kenal prajurit macam itu. Ia cuma pengecut yang tahunya hanya bikin sensasi
saja.”
“Tapi,
percayalah, Tuan. Akan ada bahaya besar yang datang mengancam sebentar lagi.”
Komandan
pasukan memandang curiga kepadanya. Ia berbalik kepada ajudan yang
mengikutinya, seorang prajurit muda. “Kau dengar itu? Segera lari ke istana dan
sampaikan kabar ini! Dan kau…,” katanya kembali kepada kepala pasukan penjaga
gerbang, “… kalau memang akan ada bahaya, sebaiknya kau kembali ke gerbang dan
laksanakan tugasmu!”
“Siap, Tuan!”
jawabnya kurang bersemangat karena merasa kabar yang ia sampaikan tidak
ditanggapi serius.
Sementara itu,
prajurit muda tadi berlari ke istana untuk menyampaikan kabar yang baru saja ia
dengar.
“Hei, hei! Mau
ke mana kau?” tegur pengawal pintu istana ketika melihatnya lari menerobos
begitu saja.
“Ada kabar
yang harus saya sampaikan ke raja,” jawab prajurit muda tadi.
“Pikirmu,
siapa kau? Sudah berapa lama kau bertugas?”
“Baru tujuh
bulan, Tuan.”
“Huh, pantas
saja kau tidak mengerti protokol istana. Walaupun sudah menjadi prajurit, kau
tidak bisa sembarangan begitu saja menghadap raja.”
“Tapi ini
berita penting….”
“Sama saja!
Kau tetap harus mengikuti prosedurnya. Kau harus menghadap kanselir dulu. Biar
kuantar kau ke kantornya.”
Kantor
kanselir masih berada dalam lingkungan istana, tidak jauh dari taman istana.
Begitu masuk, si prajurit muda langsung berhadapan dengan asisten kanselir yang
sedang duduk menulis di sebuah meja dengan pena bulunya.
“Saya harus
segera bertemu kanselir, Tuan. Ada kabar penting yang harus diteruskan ke
raja,” kata prajurit muda tadi, masih gugup dengan prosedur yang berbelit-belit
ini.
“Beliau sedang
ada urusan, tidak bisa diganggu. Kalau mau, sampaikan ke sini saja, biar aku
yang akan meneruskannya nanti,” kata si asisten kanselir sambil tetap menulis
tanpa sekalipun mengangkat wajahnya menatap si pembawa pesan.
“Ada kabar
dari medan perang, Tuan. Saya mendengar tentara kita tewas dan ada pasukan
menuju ke mari. Raja harus segera diberitahu untuk pergi.”
Mendengar kata
“medan perang,” asisten kanselir langsung mengangkat wajahnya dan menatap
dalam-dalam si prajurit muda. “Kau mendengar,
katamu?”
“Ya, saya
mendengarnya, Tuan.”
“Tapi kau
tidak diberitahu langsung? Jadi, kau hanya mendengarnya saja?”
Prajurit itu
berpikir lama, lalu akhirnya ia menjawab, “Ya, Tuan. Seperti itulah.” Ia
sendiri sepertinya masih ragu dengan jawabannya.
“Masih ada
lagi yang kau dengar, yang ingin kau
sampaikan pada, eh… raja?”
“Tidak, Tuan.”
“Kalau begitu,
urusanmu di sini sudah selesai,” jawab asisten kanselir singkat, lalu kembali
sibuk dengan tulisannya.
“Terima
kasih,” kata prajurit itu lalu keluar dengan enggan, kuatir pesannya tidak disampaikan. Negara benar-benar dalam keadaan darurat saat ini.
Tidak lama
kemudian, asisten kanselir melihat atasannya lewat dengan tergesa-gesa.
“Eh, Tuan,”
katanya sambil meletakkan pena bulunya dan mengejar kanselir. “Baru saja ada
pembawa pesan dari medan perang untuk raja.”
“Penting atau
tidak? Saya katakan, saya sedang ada urusan. Pesan tadi itu, penting atau
tidak?” kata kanselir dan menghentikan langkahnya.
“Sepertinya
begitu, Tuan. Tapi saya sendiri tidak begitu….”
“Kalau begitu,
terima kasih,” ia memotong kata-katanya lalu lanjut berjalan.
“Tapi, Tuan,”
si ajudan kembali mengejar, “pembawa pesan tadi berkata kalau ada tentara kita tewas, ada juga pasukan
sedang bergerak ke sini dan raja harus diberitahu untuk segera pergi.”
Kanselir
tiba-tiba menghentikan langkahnya. “Kenapa tidak bilang dari tadi? Ini kabar
penting untuk raja!”
Maka kanselir
masuk menghadap raja ke dalam istana. “Saya membawa pesan dari medan perang
untuk raja,” katanya sambil memberi hormat. “Yang Mulia, saya mendengar kalau beberapa tentara kita tewas dan….”
“Tewas,
katamu? Maksudmu, kita kalah?”
“Dan lagi,
Yang Mulia," ia melanjutkan kata-katanya, mengabaikan sementara pertanyaan raja, "ada pasukan sedang bergerak menuju ke sini dan Yang Mulia diminta
untuk segera pergi.”
“Itu kabar
baik! Kenapa tidak bilang dari tadi?” kata raja. “Pasukan yang menuju ke sini
pastilah pasukan yang tersisa, dan kalau aku diminta untuk pergi menyambut
mereka, pastilah mereka telah menang!
“Segera
perintahkan penjaga gerbang untuk membuka gerbang. Aku sendiri yang akan keluar
menyambut pahlawan-pahlawan kita.”
Sementara itu,
di gerbang kota, kepala pasukan penjaga gerbang bersama anak buahnya menunggu
dengan khawatir. Mengapa mereka begitu
lama? Apakah raja sudah mendengar kabar itu? Atau mungkin raja sudah dari tadi
mengungsi lewat gerbang belakang kota yang tersembunyi dan tidak diketahui
musuh.
Kemudian
pengawal khusus istana datang dan memerintahkan gerbang segera dibuka. Apa?! Kepala pasukan penjaga gerbang
tidak percaya dengan perintah yang didengarnya. Ia berusaha meyakinkan pengawal
khusus istana tentang situasi sebenarnya tapi mereka juga tidak mau tahu. Yang
mereka tahu hanyalah bahwa raja memerintahkan gerbang dibuka dan siapapun yang
menentang perintah raja pastilah dihukum.
Sementara
mereka berdebat, terdengar teriakan dari atas menara, “Musuh menyerang!” Lalu
seseorang jatuh dari atas menara. Pengawas menara telah tewas terpanah!
Terdengar suara ribut-ribut dari balik gerbang. Pasukan musuh sudah mulai
mendobrak.
Rombongan raja
sendiri sedang bergerak menuju gerbang. Mereka tidak tahu situasi sebenarnya
yang sedang terjadi di gerbang kota. Sekalipun mereka tahu, sudah terlambat.
Musuh sudah hampir berhasil masuk dan raja tidak akan sempat mencari tempat
persembunyian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar