Kamis, 25 Oktober 2012

A Conventional Man



Malam ini gue mengunjungi toko buku kecil langganan gue. Tokonya memang kecil, koleksinya sedikit, tapi selalu menarik minat gue karena koleksinya yang langka. Entah mengapa, sambil memilih buku, terlintas di pikiran gue dengan tiba-tiba: semua ini, suatu saat kelak, bakal menjadi sejarah.

Ya, dunia sekarang memang sedang beralih ke teknologi digital, termasuk literatur. Orang-orang sudah beralih, memilih buku digital ketimbang lembaran-lembaran buku biasa. Tapi berbeda dengan gue.

Bagi gue, sensasi membuka lembaran-lembaran buku itu tidak tertandingi! Meraba sampulnya, merasakan teksturnya, merasakan jari-jemari bergerak membolak-balik halaman, mencium uniknya aroma kertas buku baru dan buku tua, menyaksikan warna lembaran-lembaran kertas menua menjadi cokelat seiring waktu; sensasi-sensasi seperti ini yang nggak gue temukan di buku digital.

Nggak hanya di dunia literatur, sebenarnya. Gue bahkan konvensional dalam banyak hal! Di musik, misalnya. Memang, sudah ada yang namanya piano digital. Tapi ketika gue memainkannya, rasanya ada yang kurang. Gue nggak bisa merasakan sensasi hammer yang memukul senar. Berbeda kalo gue main piano biasa, dimana ada semacam soul yang menyatu antara gue dengan si piano, gue mengatur tekanan pada tuts, keras atau lembut, dan gue bisa merasakan hammer piano pun bergerak halus atau lembut seiring tekanan gue pada tuts.

Ketika gue memetik gitar akustik, warna suara senar gitar yang khas langsung dikenal telinga gue. Tapi ketika gitarnya disambung ke speaker, gue udah nggak menemukan warna suara yang sama lagi. Gue lebih menikmati pertunjukan musik, entah konser atau recital, dimana suara yang terdengar dihasilkan langsung oleh alat musiknya, ketimbang konser-konser dengan sound system megah. Gue lebih senang menonton pertunjukan musik langsung dibanding mendengar rekamannya saja.

Tapi bukan berarti gue menolak semua hal yang kontemporer. Gue nggak gaptek lah, tapi gue menempatkan teknologi hanya pada saat dibutuhkan aja. Gue udah mulai mengoleksi buku-buku digital, khususnya yang sudah amat sangat langka, hingga tidak bisa ditemukan di toko buku manapun lagi. Gue juga bermain piano digital kalau memang yang tersedia ya instrumen itu saja. Gue juga nggak menolak sound system, pengeras suara, apalagi kalau berhadapan dengan audiens banyak dan gedung besar.

Bagaimanapun, ada beberapa hal juga yang nggak bisa gue lakukan tanpa teknologi. Menulis, misalnya. Sebagai penulis, gue lebih memilih mengetik langsung ketimbang tulis tangan (tapi ini mungkin lebih karena faktor bahwa tulisan tangan gue jelek sih). Gue juga banyak terbantu dengan software-software musik, bereksperimen dengan jenis-jenis suara dari alat-alat musik yang sulit ditemukan, atau untuk hanya sekadar membuat aransemen-aransemen musik.

Jadi, ya nggak bisa dibilang gue konvensional amat lah. Gue tetap bisa memadukan hal-hal yang dikatakan klasik dengan teknologi-teknologi terbaru zaman sekarang.

Ketika menulis ini, gue pun memandangi tumpukan buku-buku koleksi gue, perpustakaan mini gue, yang isinya mungkin sudah ada ratusan judul. Gue kembali berpikir: apakah kelak, 10 tahun lagi, tumpukan ini sudah menjadi barang langka? Sedih juga rasanya berpisah dengan buku-buku ini. Hahaha… ternyata perubahan zaman menuju teknologi canggih masih belum bisa mengubah prinsip hidup gue. Gue tetaplah gue: si manusia konvensional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar