Yono (bukan nama sebenarnya) naik ke bis kota ‘Kopaja’
petang itu. Pembawaannya selalu santai – T-shirt coklat polos, jeans hitam,
sendal jepit, tidak lupa topi rajut hitam yang selalu ada di kepalanya. Pas sekali,
ia naik ke bis saat bis sudah penuh! Semua penumpang lain duduk dan tinggal ia
sendiri yang tidak mendapat tempat duduk.
Bodo amat, pikirnya. Lalu ia pun jongkok dekat bagian
pintu depan. Khas Yono banget! Mana ada penumpang bis kota mau rela sampai
jongkok dalam bis hanya karena tidak mendapat tempat duduk. Penumpang lain
biasanya memilih bersandar di jendela, pada tiang atau berpegangan ke tiang yang
melintang di langit-langit. Tidak dengan Yono. Ia memilih jongkok.
Di mata penumpang lain, Yono mungkin tampak seperti preman
terminal, pengangguran, yang bawaannya pasti kasar. Tapi sebenarnya tidak seperti
itu. Yono membayar tarif bis, sama seperti penumpang lainnya.
Perjalanan berlanjut. Penumpang naik-turun di tengah jalan,
Yono masih saja jongkok di dekat pintu depan. Tidak lama kemudian, bis berhenti
dan naiklah rombongan penumpang lain: seorang ibu dengan tiga orang anak yang
masih kecil-kecil, belum ada yang sampai usia 10 tahun, dua perempuan dan satu
laki-laki. Sangat tampak bahwa mereka salah satu dari kelompok yang sumber
pendapatannya dari jalan, mungkin mengamen atau meminta-minta. Ibu dan dua anak
perempuan tadi naik ke pintu belakang sementara bocah laki-laki lewat pintu
depan.
Yang aneh lagi, bocah laki-laki ini tidak benar-benar masuk
ke dalam bis. Ia hanya berdiri di tangga terbawah dan bersandar ke pintu depan.
Ia berdiri sambil memegang kantong plastik putih, tepat di hadapan Yono yang masih
berjongkok.
Orang tua biasa pada umumnya pasti sudah menegur anaknya
kalau berdiri dalam posisi seperti itu di bis kota, atau paling tidak ditegur
oleh kondektur bis. Tapi tidak ada yang menegur. Anak ini sepertinya sudah terbiasa
dengan posisi berdirinya itu. Ekspresi wajahnya datar, tidak menunjukkan ekspresi
ketakutan akan jatuh ke jalan, tidak juga ekspresi menantang bahwa ia bisa menjaga
dirinya sendiri di tempat itu. Ekspresi wajahnya benar-benar… polos.
Yono tergelitik melihat bocah ini. Ia lalu menggeser posisi
jongkoknya sedikit agak ke depan. Tangannya meraih pinggiran pintu bis,
melintang di depan anak itu, memberikan sedikit rasa aman terhadap posisi si
bocah. Yono memperhatikan bocah itu sesaat, sementara si bocah semakin
malu-malu diperhatikan dalam jarak dekat seperti itu.
“Mau ke mana, dek?” tanya Yono, memulai pembicaraan.
“Taman Menteng,” jawab bocah itu singkat, pelan dan masih
tanpa ekspresi.
“Sama siapa?”
“Sama mama.”
“Kamu sekolah?”
Si bocah menggeleng. Tidak.
“Mama kerja apa?”
Diam. Tidak ada tanggapan dari si bocah.
Yono masih memperhatikannya sambil berpikir sejenak. Ia lalu
berdiri, mengambil sesuatu dari saku belakang celananya. Ada dua lembar uang
lima ribuan terlipat kusut. Bis yang bergerak cepat tidak memungkinkannya
menggunakan kedua tangannya – salah satu tangan harus berpegangan atau ia akan
terjatuh. Ia menjepit selembar di bibirnya, menariknya dari lipatan, lalu
memasukkan sisa selembar kembali ke sakunya. Selembar lima ribuan di bibirnya
lalu ia berikan pada si bocah.
Bocah itu menerimanya dengan diam dan memasukkannya ke saku
celananya.
“Bilang apa?”
“Makasih, Kak,” jawab bocah itu malu-malu.
Tidak lama setelah jawaban itu, bis berhenti di lampu merah
Taman Menteng. Bocah itu turun, berlari di trotoar sambil memanggil ibunya yang
dari tadi berdiri di bagian belakang bis bersama dua anak perempuan lainnya. “Ayo,
Ma!” katanya.
Rombongan itu turun dan berjalan menjauh dari bis. Yono menyaksikan
pemandangan itu masih sambil jongkok depan pintu bis. Seulas senyum menghiasi
wajahnya.
Lampu hijau. Bis kembali melaju. Yono kembali pada sikap
masa bodohnya sambil terus jongkok seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Tapi,
ia tahu, ada satu kebaikan berbagi lagi untuk hari itu.
Catatan penulis:
Tulisan ini terinspirasi dari kisah
nyata yang disaksikan langsung oleh penulis dari kursi bis kota. Memang tidak sama
persis dengan kejadian aslinya – penulis hanya samar-samar mendengar dialog
kedua orang depan pintu itu dan nama asli Yono sendiri pun tidak diketahui
penulis. Bagaimanapun juga, penulis tergelitik oleh sikap seorang pemuda, yang sekalipun
acuh tak acuh, tapi memiliki kebaikan hati untuk berbagi, sehingga penulis
tergerak untuk mengangkatnya menjadi sebuah cerita. Semoga kisah ini
mengispirasi kita juga.
Jakarta, 20 Oktober 2012
-J-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar