Sabtu, 20 Oktober 2012

Satu Kebaikan Kecil Berbagi



Yono (bukan nama sebenarnya) naik ke bis kota ‘Kopaja’ petang itu. Pembawaannya selalu santai – T-shirt coklat polos, jeans hitam, sendal jepit, tidak lupa topi rajut hitam yang selalu ada di kepalanya. Pas sekali, ia naik ke bis saat bis sudah penuh! Semua penumpang lain duduk dan tinggal ia sendiri yang tidak mendapat tempat duduk.

Bodo amat, pikirnya. Lalu ia pun jongkok dekat bagian pintu depan. Khas Yono banget! Mana ada penumpang bis kota mau rela sampai jongkok dalam bis hanya karena tidak mendapat tempat duduk. Penumpang lain biasanya memilih bersandar di jendela, pada tiang atau berpegangan ke tiang yang melintang di langit-langit. Tidak dengan Yono. Ia memilih jongkok.

Di mata penumpang lain, Yono mungkin tampak seperti preman terminal, pengangguran, yang bawaannya pasti kasar. Tapi sebenarnya tidak seperti itu. Yono membayar tarif bis, sama seperti penumpang lainnya.

Perjalanan berlanjut. Penumpang naik-turun di tengah jalan, Yono masih saja jongkok di dekat pintu depan. Tidak lama kemudian, bis berhenti dan naiklah rombongan penumpang lain: seorang ibu dengan tiga orang anak yang masih kecil-kecil, belum ada yang sampai usia 10 tahun, dua perempuan dan satu laki-laki. Sangat tampak bahwa mereka salah satu dari kelompok yang sumber pendapatannya dari jalan, mungkin mengamen atau meminta-minta. Ibu dan dua anak perempuan tadi naik ke pintu belakang sementara bocah laki-laki lewat pintu depan.

Yang aneh lagi, bocah laki-laki ini tidak benar-benar masuk ke dalam bis. Ia hanya berdiri di tangga terbawah dan bersandar ke pintu depan. Ia berdiri sambil memegang kantong plastik putih, tepat di hadapan Yono yang masih berjongkok.

Orang tua biasa pada umumnya pasti sudah menegur anaknya kalau berdiri dalam posisi seperti itu di bis kota, atau paling tidak ditegur oleh kondektur bis. Tapi tidak ada yang menegur. Anak ini sepertinya sudah terbiasa dengan posisi berdirinya itu. Ekspresi wajahnya datar, tidak menunjukkan ekspresi ketakutan akan jatuh ke jalan, tidak juga ekspresi menantang bahwa ia bisa menjaga dirinya sendiri di tempat itu. Ekspresi wajahnya benar-benar… polos.

Yono tergelitik melihat bocah ini. Ia lalu menggeser posisi jongkoknya sedikit agak ke depan. Tangannya meraih pinggiran pintu bis, melintang di depan anak itu, memberikan sedikit rasa aman terhadap posisi si bocah. Yono memperhatikan bocah itu sesaat, sementara si bocah semakin malu-malu diperhatikan dalam jarak dekat seperti itu.

“Mau ke mana, dek?” tanya Yono, memulai pembicaraan.

“Taman Menteng,” jawab bocah itu singkat, pelan dan masih tanpa ekspresi.

“Sama siapa?”

“Sama mama.”

“Kamu sekolah?”

Si bocah menggeleng. Tidak.

“Mama kerja apa?”

Diam. Tidak ada tanggapan dari si bocah.

Yono masih memperhatikannya sambil berpikir sejenak. Ia lalu berdiri, mengambil sesuatu dari saku belakang celananya. Ada dua lembar uang lima ribuan terlipat kusut. Bis yang bergerak cepat tidak memungkinkannya menggunakan kedua tangannya – salah satu tangan harus berpegangan atau ia akan terjatuh. Ia menjepit selembar di bibirnya, menariknya dari lipatan, lalu memasukkan sisa selembar kembali ke sakunya. Selembar lima ribuan di bibirnya lalu ia berikan pada si bocah.

Bocah itu menerimanya dengan diam dan memasukkannya ke saku celananya.

“Bilang apa?”

“Makasih, Kak,” jawab bocah itu malu-malu.

Tidak lama setelah jawaban itu, bis berhenti di lampu merah Taman Menteng. Bocah itu turun, berlari di trotoar sambil memanggil ibunya yang dari tadi berdiri di bagian belakang bis bersama dua anak perempuan lainnya. “Ayo, Ma!” katanya.

Rombongan itu turun dan berjalan menjauh dari bis. Yono menyaksikan pemandangan itu masih sambil jongkok depan pintu bis. Seulas senyum menghiasi wajahnya.

Lampu hijau. Bis kembali melaju. Yono kembali pada sikap masa bodohnya sambil terus jongkok seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Tapi, ia tahu, ada satu kebaikan berbagi lagi untuk hari itu.

Catatan penulis:
Tulisan ini terinspirasi dari kisah nyata yang disaksikan langsung oleh penulis dari kursi bis kota. Memang tidak sama persis dengan kejadian aslinya – penulis hanya samar-samar mendengar dialog kedua orang depan pintu itu dan nama asli Yono sendiri pun tidak diketahui penulis. Bagaimanapun juga, penulis tergelitik oleh sikap seorang pemuda, yang sekalipun acuh tak acuh, tapi memiliki kebaikan hati untuk berbagi, sehingga penulis tergerak untuk mengangkatnya menjadi sebuah cerita. Semoga kisah ini mengispirasi kita juga.

Jakarta, 20 Oktober 2012
-J-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar