Aku terbangun. Hal pertama yang ditangkap mataku adalah
pemandangan alam terbaik yang pernah aku lihat: pegunungan hijau dengan hutannya,
langit cerah dan terlihat beberapa ekor burung terbang. Menentramkan. Aku bahkan
tidak merasakan kakiku menjejak ke tanah. Aku berada di antara langit dan bumi.
Aku pasti sudah mati sekarang, menjadi arwah gentayangan. Ternyata tidak begitu
buruk.
“Sam…! Lu dengar nggak? Sam?” Aku mendengar suara dari atas,
tepatnya dari atas di belakangku.
“Rudi?” tanyaku dalam hati.
“Lu bisa lihat?” Terdengar suara gusar seorang wanita.
“Gue nggak bisa dekat-dekat ke ujung, ntar malah gue lagi yang
jatuh. Gue cuma bisa lihat kakinya dari sini. Ia menggantung.”
“Ya Tuhan!”
“Kita harus cari cara. Gue ke mobil. Kayaknya ada tali.”
“Pastiin dulu dia masih hidup. Dia dengar kita, kan?”
Suara ribut-ribut di atas masih berlangsung. Aku merasakan
cairan hangat di dahiku: darah segar. Aku mulai menyadari situasinya sekarang.
Sial! Berarti aku belum mati. Itu kabar baiknya. Kabar buruknya adalah aku
hidup tergantung di dinding tebing curam. Kaosku tersangkut di – entah apa ini?
Dahan mungkin. Dan 20 meter ke bawah yang terlihat hanya hijaunya hutan. Bisa dibayangkan
apa yang akan terjadi seandainya aku terjatuh…. Tidak, aku tidak mau
membayangkannya. Aku panik.
Awalnya adalah sebuah pesta yang dengan gila kami rencanakan:
kami satu geng akan menghabiskan akhir pekan, berkemah di pinggir tebing ini. Ini
gila karena tidak ada satupun di antara kami berlima – aku, Rudi, Rico, Yenny
dan Lina – yang paham dengan teknik dasar hidup di alam; tidak ada anak Pramuka
atau aktivis pecinta alam manapun. Peralatan kami pun seadanya. Ketika Rico
tadi mengatakan ia punya tali di mobil, aku ragu ia memilikinya.
Lalu semua ini terjadi ketika kami akan foto bersama, foto
kami berlima dengan latar belakang pegunungan. Aku rasa waktu itu langkahku
terlalu mundur ke belakang. Aku tidak mengantisipasi tanahnya yang semakin
menurun dan pasirnya licin. Terjadilah: aku terjatuh, kepalaku sempat terantuk
dan aku pingsan entah berapa lama hingga kemudian aku sadar seperti di awal
kisahku ini.
Kira-kira semenit berlalu setelah ribut-ribut di atas tadi,
aku berteriak panik, “Rud… RUDI!”
“Ia menjawab! Sam, lu nggak apa-apa? Please, lu
jangan panik! Kita bakal cari cara narik lu ke atas.”
Perintah untuk tidak panik justru membuat semakin panik.
Perlahan, aku mulai mempelajari situasinya. Pertama, aku
harus tahu dulu aku menggantung pada apa. Dahan? Seberapa kuat? Aku mengangkat
tanganku pelan-pelan, takut gerakanku sedikit saja akan membuat kesalahan
fatal. Aku menyentuh kerahku yang menggantung di belakang. Baiklah, itu memang
dahan, dan aku rasa cukup kuat.
Lalu….
Oh, tidak! Bagian kerah kaosku yang menggantung sepertinya
akan sobek. Aku bisa mendengar suara koyakannya.
Tanganku meraba dahan di atas, dekat kepalaku, mencari
posisi aman seandainya kaos ini memang sobek. Dan yang kutakutkan memang
terjadi. Beberapa detik kemudian, aku seperti merosot turun dan kaos itu sobek.
Spontan aku berteriak. Beruntung, sebelumnya tangan kananku sudah lebih dulu
menemukan pegangan yang kuat di dahan tersebut.
Sekarang posisiku berubah: menghadap ke dinding tebing dengan
tangan kanan menggantung ke dahan dan berada beberapa sentimeter ke bawah dari
posisi sebelumnya. Walaupun hanya bergeser beberapa senti, tapi aku merasa
takut bergeser dari posisi aman sebelumnya dan sepertinya semakin dekat saja
dengan maut.
“Sam? Lu nggak apa-apa?” kata Rudi menjawab teriakan
spontanku tadi.
“Cepetan woi!” Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Memaki?
Memaki kondisiku yang di ujung maut ini?
Rasanya lama sekali. Tanganku sudah lelah menggantung,
seperti mati rasa. Aku akan mencoba bertahan.
“Bertahan? Ha, lihat kondisi lu, Sammy! Cuma satu tangan
gantung gitu, lu nggak bakal selamat!”
Sial! Bisa-bisanya otakku memikirkan hal sebodoh itu di
saat-saat seperti ini! Tapi memang tidak bisa dipungkiri bahwa ada saat-saat
ketika pesimisme itu datang.
“Menggantung di dahan? Yang bener aja! Dahannya udah mau
patah, tuh!”
“Keparat!” jawabku sendiri, “mau patah kek, bodoh
amat! Yang penting gue nggak hilang harapan dulu! Walaupun harus menggantung di
seutas benang pun, yang penting gue masih punya tempat bergantung, gue masih
punya harapan!”
Krek…! Dahannya hampir patah. Ya Tuhan! Aku mencari
sekeliling, tidak ada lagi tempat bergantung selain dahan ini. Tangan kiriku
dan kakiku mencoba mencari pegangan dan pijakan ke bebatuan di dinding tebing,
sedikit meringankan beban si dahan dan juga tangan kananku sendiri. Kini posisiku
mirip atlet panjat tebing. Bedanya, tangan kananku pegang dahan, tanpa tali
pengaman dan jarakku ke bawah 20 meter.
Kalau ada saat untuk berdoa, mengaku dosa, mungkin ini saat
yang tepat. Aku sepertinya lebih relijius menggantung di sini ketimbang di
tempat ibadah. Rasanya ingin menangis, tapi toh tidak ada air mata yang bisa
keluar. Apa ini saatnya?
Lalu pemikiranku yang lain membawaku berbalik. “Mana asamu
yang tadi?” tegurku. Sekalipun hanya menggantung dengan posisi di ujung
maut seperti ini – walaupun mungkin hanya beberapa waktu sebelum dahan ini
patah dan semuanya berakhir – tapi aku menganggap itu pun suatu berkah. Beberapa
menit kesempatan terakhir untuk hidup dan aku bisa bertahan tanpa putus asa!
Kemudian seutas tali muncul di sebelah kiriku.
“Coba, Sam! Kalo lu udah dapat, teriak, biar kita tarik dari
atas,” teriak Rudi.
Tali itu hanya sedikit lebih tebal dari tali Pramuka biasa. Sepertinya
meragukan. Tapi kalau aku tidak meragukan dahan ini dan keyakinanku bertahan
padanya, mengapa aku harus meragukan tali ini dengan teman-temanku di atas?
Aku tidak tahu entah keajaiban seperti apa yang bisa
membuatku selamat pada waktu itu – aku, sebatang dahan rapuh, seutas tali tipis
dan sekumpulan anak-anak bodoh tapi bernyali besar. Saat aku berusaha menggapai
tali itu, aku menggunakan lebih banyak tenaga ketimbang yang kugunakan untuk hanya
sekadar menggantung, dan tepat ketika aku menggenggam tali, dahan itu patah. Ia
sudah menunaikan tugasnya, tumbuh entah berapa lama di situ hingga akhirnya
menyelamatkanku.
Hingga sekarang, aku tidak akan melupakan peristiwa itu. Banyak
hal dalam hidup yang bisa membuat seseorang putus asa. Mungkin tidak benar-benar
di ujung maut, tapi masalah besar yang bisa membuat kita benar-benar putus asa.
Kehidupan sehari-hari kita mungkin bukan di alam liar – bisa di kantor, rumah,
sekolah, di manapun, dan kita pasti akan menghadapi masalah.
Aku kembali mengingat peristiwa itu. Aku akan terus
bergantung, serapuh apapun tempatku bergantung saat itu. Ini akan menguatkan
kembali asaku. Aku mungkin tidak lagi berhadapan dengan dahan rapuh, tapi akan
menjumpai sumber daya yang terbatas. Mungkin tidak ada lagi kaos yang sobek,
tapi masih menjumpai secuil ide untuk bertahan. Lagipula masih ada teman-teman
di luar sana yang bersedia membantu, sekalipun tampaknya konyol tapi toh
berguna juga. Ini semua membantu nyala harapan itu tetap ada sekalipun redup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar