Jumat, 22 November 2013

Supir Angkot, Pengamen dan Ikan Asin


Dalam sebuah perjalanan saya ke Taman Mini (beberapa bulan terakhir ini saya sering ke daerah tersebut karena diajak bekerja sama menjadi pianis sebuah paduan suara salah satu gereja di daerah Taman Mini), saya menumpang sebuah angkot. Penumpangnya sepi, hanya ada saya yang duduk di depan dan seorang ibu yang baru dari pasar, dengan barang belanjaannya, duduk di belakang.
Kemudian naiklah seorang pengamen dan duduk di depan pintu. Dengan diiringi suara tepuk tangannya sendiri, ia menyanyikan lagu yang tidak seorang pun tahu kecuali para pengamen jalanan; sebuah lagu tentang kehidupan anak jalanan dan kritik terhadap para “penguasa negeri”—entah ia mengerti apa yang ia nyanyikan atau hanya itu saja lagu yang ia tahu, sekadar untuk mencari nafkah saja.
Tetapi kemudian ia turun dengan tangan kosong. Si ibu di belakang tidak memberi sepeser pun. Ia juga tidak meminta dari saya yang duduk di depan. (Semua pengamen angkot pasti tahu sulitnya meminta dari penumpang yang duduk di depan karena posisi mereka, ditambah lagi supir angkot yang tidak pernah peduli, yang langsung tancap gas saja begitu mereka turun.)
Tidak lama setelah si pengamen turun, supir angkot di sebelah saya berkata, “Kalau saya, lebih baik jadi kuli angkut di pasar daripada jadi pengamen. Orang juga lebih ikhlas ngasihnya. Ya walaupun cuma 500 perak, kalau yang ngasih nggak ikhlas, kan nggak halal juga buat kita.”
Entah apa yang ada di pikirannya hingga ia berkata seperti itu. Ia melirik si ibu di belakang dari spion. Si ibu tampak tidak peduli. Ia melanjutkan ocehannya.
“Dulu di rumah saya juga sering banyak pengamen datang. Dulu itu saya suka goreng ikan asin. Jadi setiap pengamen yang datang, saya bungkus ikan asin secukupnya, terus saya kasih. Sehari bisa ada empat pengamen datang, semuanya saya kasih ikan asin. Sampai akhirnya nggak ada yang datang lagi. Mereka cerita, ‘Jangan datang ke rumah itu, ntar dikasihnya ikan asin.’ Hahaha….”
Saya pun ikut tersenyum. Namun, walaupun hanya sekadar ocehan, saya bisa belajar dari ceritanya. Seberapa besar pun kerja keras kita dan upah yang kita terima, akan percuma saja kalau yang memberi tidak ikhlas. Supir angkot ini ingin mengajarkan hal itu kepada setiap pengamen yang datang ke rumahnya, walaupun mereka tidak mengerti dan akhirnya malah menghujatnya.
Pelajaran lainnya adalah bersyukur. Syukurilah berapa pun hasil yang kita dapat dari kerja keras kita, sekalipun itu hanya sekantong ikan asin (sudah digoreng pula, minimal bisa buat makan hari itu).