Malam ini gue mengunjungi toko buku kecil langganan gue.
Tokonya memang kecil, koleksinya sedikit, tapi selalu menarik minat gue karena
koleksinya yang langka. Entah mengapa, sambil memilih buku, terlintas di
pikiran gue dengan tiba-tiba: semua ini, suatu saat kelak, bakal menjadi
sejarah.
Ya, dunia sekarang memang sedang beralih ke teknologi
digital, termasuk literatur. Orang-orang sudah beralih, memilih buku digital
ketimbang lembaran-lembaran buku biasa. Tapi berbeda dengan gue.
Bagi gue, sensasi membuka lembaran-lembaran buku itu tidak
tertandingi! Meraba sampulnya, merasakan teksturnya, merasakan jari-jemari
bergerak membolak-balik halaman, mencium uniknya aroma kertas buku baru dan
buku tua, menyaksikan warna lembaran-lembaran kertas menua menjadi cokelat
seiring waktu; sensasi-sensasi seperti ini yang nggak gue temukan di buku
digital.
Nggak hanya di dunia literatur, sebenarnya. Gue bahkan
konvensional dalam banyak hal! Di musik, misalnya. Memang, sudah ada yang
namanya piano digital. Tapi ketika gue memainkannya, rasanya ada yang kurang.
Gue nggak bisa merasakan sensasi hammer yang memukul senar. Berbeda kalo
gue main piano biasa, dimana ada semacam soul yang menyatu antara gue
dengan si piano, gue mengatur tekanan pada tuts, keras atau lembut, dan gue
bisa merasakan hammer piano pun bergerak halus atau lembut seiring
tekanan gue pada tuts.
Ketika gue memetik gitar akustik, warna suara senar gitar
yang khas langsung dikenal telinga gue. Tapi ketika gitarnya disambung ke
speaker, gue udah nggak menemukan warna suara yang sama lagi. Gue lebih
menikmati pertunjukan musik, entah konser atau recital, dimana suara yang
terdengar dihasilkan langsung oleh alat musiknya, ketimbang konser-konser
dengan sound system megah. Gue lebih senang menonton pertunjukan musik
langsung dibanding mendengar rekamannya saja.
Tapi bukan berarti gue menolak semua hal yang kontemporer.
Gue nggak gaptek lah, tapi gue menempatkan teknologi hanya pada saat dibutuhkan
aja. Gue udah mulai mengoleksi buku-buku digital, khususnya yang sudah amat
sangat langka, hingga tidak bisa ditemukan di toko buku manapun lagi. Gue juga
bermain piano digital kalau memang yang tersedia ya instrumen itu saja. Gue
juga nggak menolak sound system, pengeras suara, apalagi kalau
berhadapan dengan audiens banyak dan gedung besar.
Bagaimanapun, ada beberapa hal juga yang nggak bisa gue
lakukan tanpa teknologi. Menulis, misalnya. Sebagai penulis, gue lebih memilih
mengetik langsung ketimbang tulis tangan (tapi ini mungkin lebih karena faktor
bahwa tulisan tangan gue jelek sih). Gue juga banyak terbantu dengan software-software
musik, bereksperimen dengan jenis-jenis suara dari alat-alat musik yang sulit
ditemukan, atau untuk hanya sekadar membuat aransemen-aransemen musik.
Jadi, ya nggak bisa dibilang gue konvensional amat lah. Gue
tetap bisa memadukan hal-hal yang dikatakan klasik dengan teknologi-teknologi
terbaru zaman sekarang.
Ketika menulis ini, gue pun memandangi tumpukan buku-buku
koleksi gue, perpustakaan mini gue, yang isinya mungkin sudah ada ratusan judul.
Gue kembali berpikir: apakah kelak, 10 tahun lagi, tumpukan ini sudah
menjadi barang langka? Sedih juga rasanya berpisah dengan buku-buku ini.
Hahaha… ternyata perubahan zaman menuju teknologi canggih masih belum bisa
mengubah prinsip hidup gue. Gue tetaplah gue: si manusia konvensional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar