Saya heran dengan
sikap beberapa orang di luar sana, mereka yang semakin beragama tampaknya
justru semakin memupuk kebencian mendalam terhadap manusia lain. Di satu sisi,
mereka menyembah Tuhan, mengagungkan-Nya, berterima kasih atas semua
ciptaan-Nya, sementara di sisi lain mereka membenci sesama manusia ciptaan
Tuhan. Bukankah itu justru dua hal yang bertolak belakang?
Perhatikan saja
konflik-konflik yang terjadi, tidak usah yang jauh ke Timur Tengah, bahkan
dalam negeri sendiri pun kita menemukan hal demikian. Di pihak A, mereka sejak
kecil diajarkan—di keluarga, sekolah, tempat-tempat ibadah, “… bahwa kelompok
B adalah musuh yang harus diperangi!” Tidakkah mereka sadar, bahwa di pihak
lain, anak-anak kelompok B pun diindoktrinasi hal yang sama, memupuk kebencian terhadap
kelompok A. Kedua pihak sama-sama menganggap diri benar. Kalau begitu, siapa
yang “betul-betul benar?”
Ada pula yang
mengklaim bahwa tindakan yang mereka lakukan—perang, teror, konflik, dan
sebagainya—adalah kehendak Tuhan. Kalau begitu, saya membayangkan Tuhan sebagai
Tuhan yang menciptakan dua kubu manusia lalu membuat mereka bentrok satu sama
lain sementara Ia sendiri duduk menonton dari atas seperti menonton pertunjukan
teater. Bukankah itu Tuhan yang kejam? Lebih baik ateis daripada harus
menyembah Tuhan yang demikian.
Kalau memang
mereka musuh Tuhan, lantas untuk apa Tuhan menciptakan mereka? Untuk apa Tuhan
masih membiarkan mereka ada di dunia ini? Bukankah, dengan kemahakuasaan-Nya,
Tuhan, hanya dengan sekali jentikan jari saja bisa memusnahkan mereka semua
(kalau ternyata mereka musuh-Nya)? Bukankah Tuhan bisa memberikan bencana,
tulah? Katakanlah, skenarionya adalah membuat mereka semua mandul sehingga tidak
akan ada keturunan berikutnya.
Tapi kenyataan yang
kita lihat justru tidak demikian, bukan? Mereka, yang kita anggap musuh, setiap
pagi masih bisa bangun. Mereka masih menghirup udara yang sama dengan yang kita
hirup. Setiap saat ada saja pasangan yang menikah, membentuk keluarga bahagia. Setiap
hari ada saja bayi yang lahir, terciptanya sebuah kehidupan baru. Siapa yang membuat
semuanya itu? Bukankah Tuhan yang Mahabaik? Bukankah, dengan melihat fakta ini,
kita dapat mengakui bahwa Tuhan Mahabaik, pun bagi orang-orang yang kita anggap
musuh? Sekalipun berbeda keyakinan, toh mereka juga masih manusia, masih bagian
dari suatu keluarga, komunitas. Ketika mereka mati karena pertikaian atas nama
agama, ada juga saudara, ibu atau anak yang berduka.
Tuhan mencipkatan
manusia bukan untuk mati konyol atas dasar perbedaan. Kalau begitu, siapa yang memulai
perang? Tidakkah kita harus mengintrospeksi diri, bahwa kitalah, manusia, yang menghendaki
perang? Bukankah perang itu datangnya dari hawa nafsu kita yang saling berjuang
di dalam tubuh kita?
Hawa nafsu itu
membuat manusia mengingini sesuatu: wilayah kekuasaan, kekuatan politik, dan—maaf—juga
nafsu untuk memaksakan suatu iman kepercayaan kepada orang lain. Dan apa yang terjadi?
Nafsu tidak akan membuat seseorang memiliki apa yang ia ingini. Dampak terburuknya,
mereka saling membunuh.
Tidakkah baik,
jika dalam perbedaan itu kita saling menghargai satu sama lain? Intinya adalah
menghargai dan hal itu tidak mahal. Kita cukup menjinakkan sedikit ego kita dan
melihat sesama kita, walaupun berbeda, tapi toh juga ciptaan Tuhan. Ya, semoga
perdamaian itu bisa terwujud. Tapi jangan harap pihak lain yang lebih dulu
berdamai, usahakanlah damai itu dari diri sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar