Kamis, 22 November 2012

Kalau Kita Mengaku Beragama, Mengapa Kita Bertikai?



Saya heran dengan sikap beberapa orang di luar sana, mereka yang semakin beragama tampaknya justru semakin memupuk kebencian mendalam terhadap manusia lain. Di satu sisi, mereka menyembah Tuhan, mengagungkan-Nya, berterima kasih atas semua ciptaan-Nya, sementara di sisi lain mereka membenci sesama manusia ciptaan Tuhan. Bukankah itu justru dua hal yang bertolak belakang?

Perhatikan saja konflik-konflik yang terjadi, tidak usah yang jauh ke Timur Tengah, bahkan dalam negeri sendiri pun kita menemukan hal demikian. Di pihak A, mereka sejak kecil diajarkan—di keluarga, sekolah, tempat-tempat ibadah, “… bahwa kelompok B adalah musuh yang harus diperangi!” Tidakkah mereka sadar, bahwa di pihak lain, anak-anak kelompok B pun diindoktrinasi hal yang sama, memupuk kebencian terhadap kelompok A. Kedua pihak sama-sama menganggap diri benar. Kalau begitu, siapa yang “betul-betul benar?”

Ada pula yang mengklaim bahwa tindakan yang mereka lakukan—perang, teror, konflik, dan sebagainya—adalah kehendak Tuhan. Kalau begitu, saya membayangkan Tuhan sebagai Tuhan yang menciptakan dua kubu manusia lalu membuat mereka bentrok satu sama lain sementara Ia sendiri duduk menonton dari atas seperti menonton pertunjukan teater. Bukankah itu Tuhan yang kejam? Lebih baik ateis daripada harus menyembah Tuhan yang demikian.

Kalau memang mereka musuh Tuhan, lantas untuk apa Tuhan menciptakan mereka? Untuk apa Tuhan masih membiarkan mereka ada di dunia ini? Bukankah, dengan kemahakuasaan-Nya, Tuhan, hanya dengan sekali jentikan jari saja bisa memusnahkan mereka semua (kalau ternyata mereka musuh-Nya)? Bukankah Tuhan bisa memberikan bencana, tulah? Katakanlah, skenarionya adalah membuat mereka semua mandul sehingga tidak akan ada keturunan berikutnya.

Tapi kenyataan yang kita lihat justru tidak demikian, bukan? Mereka, yang kita anggap musuh, setiap pagi masih bisa bangun. Mereka masih menghirup udara yang sama dengan yang kita hirup. Setiap saat ada saja pasangan yang menikah, membentuk keluarga bahagia. Setiap hari ada saja bayi yang lahir, terciptanya sebuah kehidupan baru. Siapa yang membuat semuanya itu? Bukankah Tuhan yang Mahabaik? Bukankah, dengan melihat fakta ini, kita dapat mengakui bahwa Tuhan Mahabaik, pun bagi orang-orang yang kita anggap musuh? Sekalipun berbeda keyakinan, toh mereka juga masih manusia, masih bagian dari suatu keluarga, komunitas. Ketika mereka mati karena pertikaian atas nama agama, ada juga saudara, ibu atau anak yang berduka.

Tuhan mencipkatan manusia bukan untuk mati konyol atas dasar perbedaan. Kalau begitu, siapa yang memulai perang? Tidakkah kita harus mengintrospeksi diri, bahwa kitalah, manusia, yang menghendaki perang? Bukankah perang itu datangnya dari hawa nafsu kita yang saling berjuang di dalam tubuh kita?

Hawa nafsu itu membuat manusia mengingini sesuatu: wilayah kekuasaan, kekuatan politik, dan—maaf—juga nafsu untuk memaksakan suatu iman kepercayaan kepada orang lain. Dan apa yang terjadi? Nafsu tidak akan membuat seseorang memiliki apa yang ia ingini. Dampak terburuknya, mereka saling membunuh.

Tidakkah baik, jika dalam perbedaan itu kita saling menghargai satu sama lain? Intinya adalah menghargai dan hal itu tidak mahal. Kita cukup menjinakkan sedikit ego kita dan melihat sesama kita, walaupun berbeda, tapi toh juga ciptaan Tuhan. Ya, semoga perdamaian itu bisa terwujud. Tapi jangan harap pihak lain yang lebih dulu berdamai, usahakanlah damai itu dari diri sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar